Lihat ke Halaman Asli

suryansyah

siwo pusat

Kehilangan Satu Testis Tri Tetap Tegar

Diperbarui: 24 Mei 2021   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tri Adnyana Adiloka-Perbasi

LEBIH dari 20 tahun tak bertemu. Sampai saat ini. Tapi saya tak pernah lupa. Tri Adnyana Adiloka! Nama yang melekat di lapangan basket nasional.

Tri seangkatan AF Rinaldo, Felix Bendatu, Fictor Roring, Moh. Rifki, dan Suko Daryono. Mereka pilar Asaba Basketball Club tahun 1990-an. Kini berubah jadi Aspac. Tri pensiun pada 2005, setelah setahun membela Mitra Kalila.

Selama 11 tahun Tri jadi pelanggan timnas bola basket. Sejak timnas junior 1988 hingga SEA Games 1999. Dua kali saya meliput penampilannya di SEA Games. Chiang Mai, Thailand 1995 dan Brunei 1999. Sebelumnya di Merlion Cup, Singapura ketika Aspac juara mengalahkan Cina. Selebihnya di panggung Kobatama.

SEA Games Brunei 1999 pertemuan terakhir saya dengan Tri. Saya pindah desk dari olimpik ke sepak bola internasional. Saya lebih banyak berkutat di belakang meja. Praktis menjauh dari arena basket.

Ketangkasannya Tri sebagai forward tak diragukan. Dedikasinya untuk Merah Putih pun demikian. Bahkan lebih. Mungkin tak banyak yang tahu. Tri harus kehilangan satu testis (maaf: biji kemaluan). Pengorbanan luar biasa.

Itu terjadi di SEA Games Singapura 1993. Tri mengalami benturan dengan pemain lawan. Tapi tidak dirasakan. Fight! Adrenalinnya masih kencang. Semangat juangnya tinggi.

Selesai pertandingan baru terasa. Tri seperti dilempar badai. Testisnya terasa muter. Menghambat aliran darah. Tak sempat tertangani di Singapura. Karena sudah berada di bandara. Pas pesawat mau terbang ke Jakarta.

"Sampai di Indonesia tidak dilanjutkan penanganannya. Akhirnya bengkak sebesar batu dan keras. Tak ada pilihan operasi dan diangkat satu testis," ujar Tri.

Sempat drop, itu pasti. Mental jatuh. Itu manusiawi. Tak mudah menghadapi kenyataan pahit. Mungkin terpahit dalam hidupnya. Bahkan lebih dari itu. Pikiran jadi sengkarut.

Hati Tri remuk. Dia marah dan kesal. Langit pun mau ditinju. Negara disalahkan. PP Perbasi disalahkan. Manajer tim dan ofisial juga. Hampir satu tahun dia bertempur melawan batinnya. Sulit untuk berdamai.

"Tapi begitu ngobrol sama bapak dan om yang tentara, semua berubah. Mereka bilang: kakekmu dulu berjuang. Mengorbankan nyawa di medan perang. Demi bangsa ini. Masa kamu baru segitu aja nyerah," tutur Tri yang mendapat nasihat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline