Dulu aku membencinya. Persis seperti benciku pada raut muka putih manis saat berpapasan denganku di tangga pintu masuk kantor yang semula sepasang matanya memandang padaku dan detik berikutnya saat kuberikan senyum paling ramah dan sopanku kepadanya, tiba-tiba sorot matanya memandang pada Homo sapiens lain dengan gender laki-laki, sama sepertiku, yang muncul dari antah berantah.
Saat itu aku merutuknya. Seperti Gajah Mada, aku bersumpah nggak akan lagi-lagi tersenyum pada gadis manis berlesung pipit anak baru di divisi sebelah, sebelum ia duluan menyapaku. Seperti itu juga serapahku pada 'dia'.
Dulu aku membencinya. Sangat benci padanya. Pada kopi yang hanya bisa menggoda iman dengan aromanya yang aduhai, namun setelahnya, lambungku akan berontak karena imunitasnya terhadap kafein jebol berantakan.
Tapi sekitar beberapa bulan yang lalu, seorang barista setengah baya, yang juga punya masalah lambung sepertiku, mengajakku mencicipi kopi Arabika. Itupun setelah segelas teh Rosella terhidang dan hampir habis setengahnya. Meyakinkanku, yang keukeuh untuk menghabiskan teh Rosella panas saja. Meyakinkanku, yang akhirnya mencicipi affogato pertamaku dengan cecapan hati-hati dan sangat perlahan seolah-olah bila sedikit saja kutingkatkan intensitasnya, maka diriku akan meledak dan hancur berkeping-keping.
Dulu, aku membencinya. Menyerapahinya.
Lalu kini, pada level tertentu, aku membutuhkannya. Semoga tidak pada taraf ketagihan yang luar biasa. Seperti kini, tawa gadis manis putih manis berlesung pipit itu dan sorot mata jenakanya, menghiasi meja kerjaku, ukuran 5R, dalam bingkai berwarna abu-abu, di sisi layar monitor.
22:22
Setelah Senin yang macet seperti biasa.
(Dikemas ulang pada 17 Januari 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H