Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Pusuk Buhit

Diperbarui: 17 Desember 2020   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pusuk Buhit, sumber gambar: pendaki.id

"Nanti ku ajak kau mudik,"
ujarmu
matamu cerlang
pelangi Niagara bersemayam di sana
nyaris abadi
tanganmu yang kekar guncangkan bahuku

Wow!
Pusuk Buhit!
Batu-batu raksasa di lanskapnya
Jajaran pinus tegak dari kaki hingga puncak
Pegunungan yang mengitari
Edelweis di hawa sejuk berelevasi 1.972 mdpl
Impian lama yang kupendam diam-diam
Menjejakkan kaki ke negeri Samosir
Siraja Batak
Guru Tetea Bulan
Batu Hobon
Daun Tujuh Rupa
Banua Ginjang
Banua Tonga
Banua Toru
Kau sungguh mengerti aku

Abang,
ku masih rasakan dagumu yang sedikit kasar bercambang
menyentuhi tulang rahang pipi kananku bagian belakang
kumis tipismu beradu rambutku yang ikal

Senyum bahagia kita mengembang

Malam menirwana
ulos Ragi Hotang dan batik tulis halus motif Truntum Yogyakarta
merestui peraduan kita

"Nanti
kuajak kau mudik, Diajeng"
ujarmu
awal tahun ini

Di Purnama Bulan Embun Beku
Aku memandang jauh dari bingkai jendela rumah
Kuelus perut buncitku yang tujuh bulan

Pusuk Buhit hanya impian
Abang terlalu cepat berpulang
Protokol Covid-19 tak memungkinkanku berikan kecupan perpisahan

Parung Mulya, 16 Desember 2020

------

Catatan penulis: 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline