: mengenang Festival Penjor Borobudur 2016
Pantas saja, kau hadir lagi di mimpiku, Borobudur.
Lengkap dengan tangga batu berundak yang ada di segala penjuru.
Rupanya empat tahun lalu dan setelahnya kau memanggil-manggil namaku begitu sering.
Di mimpi, aku ada di sana. Di anak tangga.
Terbata-bata mendaki.
Kebaya putihku penuh peluh tapi kutak peduli.
Kakiku yang telanjang menapaki tangga batumu yang seolah tanpa henti.
Masih ke atas lagi.
Masih ke atas lagi.
Masih.
Ke atas.
Lagi.
Di sebuah titik aku setengah terduduk. Menyandarkan sebagian beban tubuh di tangga batu. Jaritku kain batik tulis sogan. Entah motifnya apa, aku lupa.
Udan riris?
Kawung?
Parang?
Angin menyapanya perlahan. Tangan kanan ku bertumpu di batu. Kaki kananku menumpu di gigir tangga. Kepalaku menatap undakan yang telah kulalui. Di bawah sana, jauh.
Kuluruhkan lelah.
Hanya sejenak.
Saat menengadah lagi ke atas, sebuah tangan terulur menjangkauku.
"Mari ..."
Kata pemilik tangan itu sopan.
Tangan kananku menjangkau tangan kanan itu.
Tangga ke atas harus kutuntaskan.
Kramat Pela, 18 April 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H