Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Invisible Fluorescence

Diperbarui: 10 Februari 2020   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri. Ilustrasi untuk tulisan

Julukan, terkadang menjadi baju diri. Makanya, kita perlu menjuluki diri dengan yang baik-baik. Karena, 'julukan adalah doa juga'.

Bagaimana rasanya menjadi unwanted? Unrespected? Ada yang pernah mengalaminya?

Barangkali jika kita tengok kehidupan masa kecil saat SD, rasanya adalah seperti seorang anak kecil yang sepanjang hari bersekolahnya ia menjadi obyek 'bully'-an teman-teman sekelas. Dari mulai jam sebelum masuk kelas, hingga lonceng jam pulang sekolah berbunyi.

Ia sedemikian anehnya dan sedemikian 'bullyable' sehingga seisi kelas mencemoohnya dengan berbagai cara. Mengejek. Menjadikan bahan tertawaan. Bahkan menendang. Atau kekerasan fisik lainnya.

Mungkin sebabnya adalah tingkah si anak kecil itu yang 'nyebelin'. Menjengkelkan di setiap kesempatan dan suasana. Walaupun 'ia tidak bermaksud demikian'. Mungkin juga karena anak kecil itu 'sedemikian berbeda dari rata-rata anak kecil yang lain yang menjadi mayoritas'. Mungkin karena tubuhnya yang mungil.

Atau kulitnya sedemikian hitam. Atau justru karena ia demikian ganteng, berwajah bule, berkulit putih, hingga memicu keirian kolektif. Klise. Alasan-alasan fisik. Alasan-alasan pada hal-hal kasat mata.

Atau, bisa jadi, rasanya adalah seperti 'seseorang yang kehadirannya tidak diinginkan dimana-mana'. Bisa jadi karena seseorang itu demikian aneh dan berbeda dari ekosistem tempat ia berada. Bisa jadi, seseorang ini demikian bodohnya hingga tidak sanggup menyelesaikan satu tugas pun yang diberikan oleh atasanya sesuai dengan tenggat waktu.

Bisa jadi pula karena sedemikian indahnya ia sehingga 'mengancam' keberadaan orang lain (beberapa orang atau sebagian besar orang). Bisa jadi pula seseorang ini demikian tidak memahami bahwa cara berpikirnya ternyata tidak bisa dipahami dengan baik oleh ekosistemnya. Atau bahkan seseorang ini sama sekali tidak memiliki IQ, EQ, SQ, dan communication ability.

Sehingga, seluruh ekosistempun menjadikan ia sebagai obyek yang 'bullyable' dan judgement semena-mena tanpa ampunan. Gunjing sana. Gunjing sini. Bisik sana. Bisik sini. Seluruh sistem secara masal membuat ia harus diawasi gerak-geriknya. Media sosialnya di-capture dan di-kepoin. Kehadirannya di kantor dipantau. Kapan ia masuk ke lokasi kerja, kapan ia keluar makan siang, sehingga ia sudah kehilangan hak-hak kemanusiaannya.

Hulu dari semua itu adalah judgement.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline