Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Cerita Langit-langit

Diperbarui: 7 November 2019   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: bangun-rumah.com

Aku punya cara tersendiri untuk mengenang sebuah kejadian. Kali ini adalah tentang bagaimana Pak Bos memanggilku tepat setahun yang lalu ke ruangannya memberitahukan mengenai mutasiku. Tak penting soal mutasiku. Penting untukku menangkap suasananya. Untuk suatu ketika kelak kutengok lagi. Barangkali ada pesan tersembunyi bagi siapa saja terlebih bagiku untuk belajar dan berbisik lagi: ihdinashshirathal mustaqim. Mengingatkan diri sendiri bahwa hidup ini tak hanya ada satu dimensi.

Begini kisahku tentang langit-langit:

Jika hanya 'langit' saja, itu letaknya tinggiii sekali. Bahkan bisa jadi saking tingginya, langit hanya batas pandang yang semu. Ia tidak pernah nyata secara fisik. Tidak ada molekulnya  apalagi inti atomnya.  Namun jika diulang - 'langit-langit' - letaknya jadi lebih dekat. Langit-langit ruang tamu, misalnya, lebih bisa diraih ketimbang langit.

Hari ini ada suguhan pemandangan yang aneh. Pak Bos yang 'public speaker' andal, kehilangan kata-katanya di langit-langit. Beliau memandangku sejurus tepat di bola hitam mataku. Mataku masih tetap jenaka dengan binar-binar cahaya. Setidaknya aku merasa begitu karena saya masih menyungging senyum renyah dari hati terdalam. Pak Bos mengangkat pandang matanya ke langit-langit ruangan.

"Yes, Pak ..... Ada apa?"

Tak kunjung ia bicara. Matanya masih bola. Bibirnya seperti terkunci.

Arah pandang mataku mengikuti arah pandang matanya ke langit-langit ruangan. Leherku memutar hingga 180 derajat hingga kepalaku lalu tengadah.

"Ada apa sih, Pak, di atas ...?" Tanyaku polos sambil tersenyum jenaka.

"Jadi gini lho, Wid ...."

Pak Bos berhenti lagi. Kalimatnya menggantung. Seperti ada yang menelan kata-kata yang sudah meluncur dari tenggorokan, melewati pangkal lidah, dan tiba-tiba dari ujung lidah ke langit-langit rongga mulut, seluruh kata-kata terlontarkan melalui pandangan matanya ke langit-langit ruang kerjanya. Kata-kata itu terburai menjadi huruf acak yang tak lagi terbaca. Kadang konsonan bergandengan dengan konsonan, hingga dobel, tripel, kwartet, bahkan lebih, tanpa ada huruf vokal. Huruf demi huruf menari meliuk-liuk. Matanya seakan-akan memunguti huruf demi huruf yang berserakan di langit-langit. Susah. Payah.

Mau nggak mau leher dan kepala aku celingukan lagi ke langit-langit ruangan Pak Bos.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline