Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Cerpen | Prabangkara: Dahana Tanpa Asmara

Diperbarui: 30 Maret 2020   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi, koleksi pribadi fotografer Uus Trie.

"Aku tahu sekarang"
Ujarmu.

Kamu menatapku dengan mata bintang kejora yang selalu kukagumi.

Kualihkan pandangku dari tali kekang kuda yang kuhela. Bedjo, nama kudaku. Ia berdiri diam di sampingku. Sedangkan kamu -gadis bermata bintang kejora itu- tepat di hadapanku. Wangi parfummu kenanga. Kulitmu seputih susu. Lehermu jenjang. Rambutmu kau ikat ke belakang. Anak-anak rambutmu halus melingkari lehermu yang menyangga kepala. Wajahmu tanpa riasan. Hanya lipstik warna nude di bibir. Wajah yang sangat Jawa. Rambut di tengah dahi membentuk ujung lancip. Kubayangkan bila kau kelak menjadi pengantin putri, paes hitam menutupi dahimu yang agak bidang. Berlekuk lengkung cembung hitam indah.

Namaku Satya. Aku bekerja di pantai ini sejak lama. Bekerja sama dengan Bedjo, aku menyewakan jasa berkuda untuk para wisatawan yang mengunjungi Pantai Selatan yang berpasir putih. Selain menyewakan kuda, aku juga menawarkan jasa live sketching dengan menggunakan pensil dan kertas Canson. Aku pemuda yang masih tertarik melajang. Sebuah kedai kopi sederhana kukelola untuk kehidupan sehari-hariku. Untung ada Rangga, sepupuku, yang mau menunggui kedaiku. Aku sendiri lebih senang bergerak ke sana ke mari di bawah sinar matahari, mencari penumpang untuk Bedjo. Dengan begitu aku jadi bisa ngobrol dengan orang-orang dan menambah teman baru. 

Orang-orang bilang aku memiliki wajah yang menarik. Enak dilihat. Warna kulitku kecoklatan. Aku lebih sering mengenakan atribut koboi saat jalan-jalan bersama Bedjo.  Seperti kamu, wajahku wajah Jawa. Itu kata orang-orang. Ya, karena memang kedua orang tuaku orang Jawa yang merantau di Tanah Sunda ini. Kami bukan penduduk asli. 

Sekitar dua minggu lalu aku berjumpa dan mengenal kamu. Di 'Kedai Kopi Badranaya', milikku, tak jauh dari pantai Karang Hawu. Sekarang aku mengenalmu sebagai wisatawan dalam negeri yang dua minggu ini mencari inspirasi dari aroma ganggang laut, natrium klorida, pasir laut, dan gelombang ombak Pantai Selatan untuk sebuah proyek korporasi yang meski telah kau jelaskan berkali-kali tetap saja aku tak paham. Dan aku tak mau berusaha untuk paham. Satu-satunya yang aku paham adalah kamu selama dua tahun ini -sebelum kita betulan bertemu di kedai kopiku- sudah datang di mimpiku. Beberapa kali tapi random. Dalam mimpi itu, kau terkadang datang bersama lelaki yang kau panggil "Kangmas". Namun rasaku mengabariku bahwa lelaki itu berjuluk Prabangkara.

Di mimpiku, kau berkain batik dan berkebaya. Prabangkara juga sama, berkain. Kadang memakai ikat kepala, kadang tidak. Kadang berblangkon. Mata bintang kejoramu menjadi satu ciri utamamu bagiku mengenalimu. Selain tahi lalat kecil di sudut bibir.

Seperti aku, kau punya kemampuan membuat sketsa dengan pensil hitam. Kamu selalu membuatku iri karena selain karakter sketsamu yang halus, Tuhan pun menganugerahkan padamu kemampuan menulis yang berjiwa, selain paras indah dan gesture yang anggun. Setiap puisimu kurasakan memiliki energi yang seringkali membuat merinding sisi belakang kepalaku. Aku tahu itu, karena saat pertama bertemu denganmu, aku tak sengaja menumpahkan kopi Gayo V60 pesananmu ke buku puisi karyamu yang tergeletak di atas meja. Kamu marah sekali saat itu. Aku takut setengah mati. 

"Nggak becus!" desismu. Menatap wajahku yang pias. Pias karena telah menumpahkan kopi pesananmu di buku puisimu. Dan pias karena aku mengenalimu sebagai Gusti Ayu yang beberapa kali hadir di mimpiku.

"Maafkan. Maafkan saya, Teh. Saya akan ganti pesanan Teteh dengan yang baru"

"Ya kalau itu, emang harus!" katamu. Sangat ketus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline