Di Muzdalifah
Aku memandang Langit
Andai saja terang listrik tiada, akan kulihat gemintang gemilang
Kini: hanya satu nyala terang tertangkap
Pendarnya nyata berkala
Seperti pulsa
Dan aku bertanya tanya: pendarmu kini, berapa juta tahun lalu kah kau emisikan?
Di daratan pasir putih, manusia-manusia lelaki berpakaian ihram dan perempuan berpakaian putih maupun hitam bermalam
Tanpa atap
Jutaan
Syahdu
Dulu, Rasulullah pun bermalam di Muzdalifah
Dulu, Ibrahim, Ismail dan Hajar melemparkan kerikil-kerikil kearah iblis yang membisikkan bujukan untuk mengurungkan niat untuk mengorbankan Ismail
Kini, jutaan manusia mencari kerikil di hamparan pasir Muzdalifah. Jutaan manusia itu tengah mencari kesalahan dan kekurangan diri
Gunung batu melingkungi tempatku berdiam diatas pasir berlambarkan matras hitam
Menengadah lagi menatap langit, seolah seluruh langit menjadi milikku
Seperti layar lebar seluas jangkauan mata, yang padanya bisa kuputar film apa saja
Seperti kanvas lebar, yang padanya ingin kulukis apa saja
Seperti selembar kertas raksasa, yang padanya siap kuketikkan tentang apa saja
Dan aku memilih merenung
Sebuah perenungan sunyi di tengah ramainya kehadiran empat jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia
Yang kubayangkan: seluruh lampu dipadamkan
Aku butuh gelap untuk melihat bintang-bintang gemerlap
Aku butuh kegelapan untuk menikmati: Pendarnya. Dan tasbihnya.
Ingin kuselaraskan dengan degup jantungku
Memuji Nama-Mu
Seperti juga pujian Bulan Tanggal Sepuluh Dzulhijah yang masih bersinar dengan anggun malam ini
Muzdalifah, 10 Dzulhijah 1434 H, di larut dini hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H