Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Sabtu Sore di Lapangan Blok S

Diperbarui: 1 April 2019   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu menu jajanan di Pujasera Blok S Jakarta (dokpri)

Sedari pagi, entah mengapa, frekuensi bangkis saya sudah tak terhitung banyaknya. Sepadan dengan bilangan satu dibagi nol. Setara dengan lambang yang sangat kusukai: ~. Infinity. Dan, entah mengapa pula, tingkat kebandelan saya sedang berada di skor setinggi-tingginya. Saya sedang abaikan semua obat yang mengandung antihistamin berikut obat flu. Bahkan resep dokter untuk sebuah obat semprot hidung yang diharapkan bisa meredakan reaksi atas alergi dingin dan debu hanya saya lirik saja.

“Aku hanya perlu istirahat dan tidur yang cukup”, begitu gumam hati saya. Hal yang sangat sejalan dengan lambang-lambang yang mencuat diatas kepala saya. Bantal dan guling warna merah, dengan tempat tidur berpagar besi di sekeliling tiga sisi warna putih. What a peaceful imagination. Dan tanpa susah payah, imajinasi itu saya wujudkan dalam kenyataan. 

Saat sore menjelang, setelah beberapa lama bangun tidur, hal pertama yang saya lakukan adalah: bangkis-bangkis lagi. Oh my God. Lalu saya ingat nasehat sahabat saya manakala saya bangkis-bangkis nggak keruan, begini:

“Minum teh manis panas, selimutan, dan bikin berkeringat”.

Karena selimutan sudah teraplikasi denga baik, maka tinggal dua hal yang belum saya lakukan: Minum teh manis panas dan bikin berkeringat.

Ting…! Tiba-tiba ada karya Thomas Alfa Edison di kepala saya. Berpijar terang. Dan saya menujunya sore itu juga. 

***

Setelah melintasi jalan Trunojoyo yang jadi semakin sempit karena proyek pekerjaan pembuatan MRT, dan pengalihan jalan, melintasi daerah Erlangga karena menghindari kemacetan, menyusuri sebentar Jalan Suryo, maka saya pun sampai di Jalan Birah Raya, dan memarkir mobil mungil di sisi lapangan blok S. Di seberang lokasi parkir, terdapat barbershop yang terlihat cozy, tepat di lokasi tikungan.

Saya berjalan perlahan menuju lokasi Bakso Kumis yang lokasinya masih kukira-kira karena sudah lama sekali saat dulu kesana bersama teman-teman kantor. Beberapa meter setelah berbelok ke kanan, saya disambut dengan juntaian akar-akar gantung pohon beringin. Seorang ibu dan putranya yang masih kecil terlihat menuju mobil putih yang terparkir di bawah naungan pohon beringin itu. Si Ibu dengan paras tersenyum memamerkan tangannya yang meraih ujung terbawah salah satu rangkaian akar gantung. Lalu putra kecilnya tertawa riang dan mengangkat tangannya ingin turut meraih akar gantung itu.

Serta merta, Ibu Muda bercelana jins itu mengangkat putra kecilnya untuk membantu meraih akar gantung pohon beringin. Pemandangan yang sangat menyentuh dan membuat saya tersenyum. Cinta kasih seorang Ibu terpancar di adegan itu. Cinta kasih tanaman besar berkambium kepada manusia juga terbaca dengan sangat bold. Mata rantai cinta. 

Di sisi kiri saya, ada bangunan cukup besar dan bertingkat. Dari papan namanya saya tahu bahwa itu adalah sebuah bangunan sekolah dasar yang rupanya ditempati oleh banyak sekolah. SD 05 Pagi, SD 06 petang, SD 07 Pagi, SD 08 Petang. Sebagai warna negara yang dibesarkan di kota kecil yang asri di Jawa tengah sana, pemandangan itu membuat saya tersenyum dan mengagumi perjuangan warga Jakarta. Betapa Jakarta dengan populasinya yang sangat besar dan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang tinggi, sangat mempengaruhi sistem belajar anak usia sekolah dasar. Sedari kecil, anak-anak Jakarta sudah terbiasa dengan 'shift', seperti sistem kerja di perusahaan manufaktur. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline