[caption caption="Dua porsi affogato di Filosofi Kopi"][/caption]
Tiba-tiba saja malam ini saya terdampar di sebuah sudut Blok M Square dengan seporsi affogato di hadapan saya. Tanpa rencana. Tanpa janjian berhari-hari sebelumnya. Seperti begini, Cling..! Maka tiba-tiba terjadi.
Ngopi cantik kami kali ini agak terlalu malam, karena jarum panjang ada di angka enam dan jarum pendek ada di antara angka delapan dan sembilan. Sempat ada setitik keraguan apakah tempat ngopi yang kami tuju masih buka. Namun tertepis manakala terlihat sederetan motor terparkir berjajar di salah satu sudut bangunan di Blok M Square, tepatnya di Jalan Melawai 6 Blok M No. 8 Jakarta Selatan. Lampu terang menyala, serta dua orang barista dan seorang petugas kasir sibuk melayani pesanan pengunjung yang terlihat antri dengan tertib di depan mesin kasir.
Teman ngopi saya kali ini adalah seorang wanita cantik bermata sipit dan berhidung mancung dengan kerudung warna abu-abu yang dikenakan dengan rapih. Tanpa direncana pula, kami mengenakan kerudung dengan model yang serupa. Kerudung panjang yang dililitkan mengitari kepala, dan bukan kerudung segi empat yang dilipat segitiga. Kerapihannya berkerudung itu tidak seperti saya mengenakannya, sehingga siang tadi Pak Boss di kantor tiba-tiba berujar, “Kamu kenapa pake kerudungnya begitu sih, jelek…”.
Saat beliau mengucapkan kata ‘jelek’, sangat terdengar jelas bahwa kata tersebut sungguh terucap dari lubuk hati terdalam, dengan sepenuh hati, segunung keseriusan, sangat ditandaskan, bold, digarisbawahi, dan dengan logat Sunda yang sangat kental, hingga bila ada tunas daun hijau pupus yang baru akan tumbuh di batang tanaman mendengar kata-kata Beliau akan serta merta menjadi layu dan gugur. Namun saya hanya tergelak-gelak tanpa suara menanggapinya, karena sudah paham dengan kebiasaan Pak Boss yang kalau ngomong benar-benar straight to the point, dan tanpa tedheng aling-aling. Masih sambil tertawa, saya menukasnya dengan tingkat kepedean yang bandel, “Ah, nggak juga, Pak. Saya tetap charming kok Pak dengan gaya jilbab begini”.
Jadilah kami berdua, Si Mata Sipit dan saya duduk di salah satu sudut dengan kursi rendah yang terbuat dari logam. Satu porsi affogato plain untuk saya, dan satu porsi Affogato Orgasm rasa durian yang menjadi ciri khas tempat ngopi ini untuk Si Mata Sipit. Obrolan kami nggak ada topiknya. Mengalir dan terimprovisasi seperti musik jazz. Namun kadang-kadang menghentak seperti musik rock jadulnya Bad English. Dari politik, hobby, lelucon, film, hingga beefy dan veggie (dua nama menu makanan ringan), ide-ide tentang sketsa, dan banyak hal yang seolah-olah tumpah ruah, tak terbendung, dan penuh semangat.
Obrolan sempat diselingi dengan munculnya anak kecil penjual kacang bawang yang menawarkan dagangannya dengan harga Rp 10.000,- untuk tiga bungkus kecil. Si Anak Kecil itu rupanya sudah belajar mempraktekkan komunikasi persuasif dengan frekuensi yang cukup. Sangat meyakinkan ketika membujuk saya untuk sekaligus membeli enam bungkus kecil kacang bawang. Untung saja, benteng pertahanan saya untuk tetap berada di kwadran 'konsumen sesuai kebutuhan' masih sangat bagus. Meskipun sebagaimana kebanyakan Gemini, saya sering tergoda untuk memasuki kwadran 'konsumen sesuai keinginan'. Jadi, saya membayarnya dengan uang Sepuluh Ribuan saja untuk tiga bungkus kacang bawang yang dipindahtangankan oleh anak kecil itu ke tangan saya. Obrolan juga diselingi selfie-wefie sebentar, dan mengabadikan spot-spot unik di tempat ngopi yang menyajikan makanan ringan seperti waffle plus es krim, lumpia, risoles, dan kentang goreng berbagai rasa.
***
Tak pernah terbayang sebelumnya, ternyata saya bisa menikmati kopi. Hal ini bermula saat seorang kawan yang memiliki tempat ngopi baru di daerah Serpong mengundang saya datang ke café-nya. Disitulah saya ‘berkenalan’ dengan affogato. Di café itu, Kopinira namanya, affogatonya memiliki beragam pilihan rasa es krim. Disajikan terpisah antara eskrim dan espressonya. Saya bersyukur, bahkan setelah saya tunggu hingga 1x24 jam, sama sekali tidak muncul efek negatif minum kopi seperti yang biasanya saya rasakan: kembung dan berakhir dengan sakit kepala hingga esok harinya. Di Kopinira, varian kopinya cukup lebar. Kopi Gayo, Kopi Toraja, Kopi Jawa, Kopi Bali, hingga kopi Papua. Interiornya didisain dan dibuat sendiri oleh sang pemiliknya. Termasuk beberapa dummy gitar elektrik yang dipajang di salah satu dinging cafe.
[caption caption="Affogato di Ruang Ke-3"]
[/caption]
Selain Kopinira, ada satu tempat lagi dimana saya bisa mendapatkan affogato dengan varian rasa kopi yang berbeda. Lokasinya ada di Kebagusan City, tower A, lantai dasar. Namanya tempatnya, Ruang Ke-3. Biasanya, saya tidak terlalu suka kopi campuran dari beberapa daerah. Saya akan lebih menikmati kopi tunggal. Misalnya, Kopi Gayo saja, atau kopi Bali saja. Di Ruang Ke-3, memungkinkan untuk meminta kepada baristanya untuk memilih jenis kopi mana yang kita sukai. Disini varian kopinya tidak sebanyak di Kopinira. Yang istimewa, bagi saya, penataan ruangnya yang memberikan kesan dekat tanpa jarak. Bila beruntung, kita bisa menikmati pemiliknya turut bernyanyi sambil memainkan gitar akustik. Pada salah satu kunjungan saya, pemilik kafe mungil sempat menyanyikan Until-nya Sting yang nadanya berayun-ayun. Keistimewaan lainnya, adalah penyajian Affogato. Disuguhkan dengan beralaskan sebentuk kayu seperti talenan lengkap dengan gagangnya, diatasnya terdapat dua gelas dengan bentuk yang berbeda. Satu gelas berukuran kecil, berbentuk silinder terbuka bagian atasnya, sebagai gelas espresso. Dan satu gelas lain lagi yang lebih besar untuk meletakkan eskrim vanilla. Saya selalu menikmati affogato dengan cara begini: menyendok espresso dengan sendok kecil, mencecapnya di lidah dengan hidmat, lalu menyusuli dengan sesendok kecil es krim. Atau sebaliknya, sesendok eskrim yang lalu saya celupkan ke dalam espresso. Dan biasanya, saya akan usahakan si espresso akan habis bersamaan dengan habisnya eskrim...! Sebuah seni tersendiri menikmati affogato. Hmmmm…. Aromanya, rasanya, tertinggal lama di lidah dan neuron-neuron otak.