Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Farrah Zumaini

Diperbarui: 16 Oktober 2015   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertahun yang lalu. Hampir dua puluh tahun. Saya berada di shaf wanita yang berdiri menghadap empat peti jenazah di sebuah rumah di Jalan Abimanyu. Melepas kepergiannya dengan takbir dan doa memohon ampunan.

Saya masih ingat bagaimana rasanya. Menghambur dari rumah kos saya di Jalan Pleburan Raya dengan sepeda motor Honda 800 dan jaket kain warna ungu kesayangan saya menuju kawasan Tugu Muda.

Sepanjang jalan itu, air mata saya tak berhenti mengalir. Mengenangkan kakak sepupu saya yang paling ramah, yang hitam manis, yang sangat menyayangi adik-adik sepupunya, harus meninggalkan kami dengan cara seperti ini.

Tiba di Jalan Abimanyu I, tetamu mulai ramai berdatangan. Air mataku menderas dan hatiku ngungun menyaksikan empat peti jenazah terjajar dingin di ruang tamu yang sangat kukenal. Mbak Anny, kakak sepupuku yang manis, berada di salah satu peti jenazah itu. Suaminya, putri kecilnya, dan pembantunya berada di peti jenazah lainnya.

Sebuah kecelakaan maut. Perjalanan dari Semarang ke Jepara itu ditempuh keluarga kecil itu untuk menghadiri sebuah perhelatan dari salah satu pendengar radio yang fanatik kepada kakak sepupuku. Ya! Mbak Anny, adalah penyiar radio di salah satu stasiun radio di Semarang yang disayangi pendengarnya. Nama udaranya: “Fay”.

Padahal beberapa minggu sebelumnya, Ibunda Mbak Anny, yaitu kakak perempuan ibuku, berpulang ke haribaan Illahi di saat Ayah Mbak Anny berada nun jauh di Makkah sana untuk beribadah haji. Dan di otakku masih ada rekaman adegan ini: Mbak Anny berlari menjelang dan memeluk ibuku, mengguncang bahu ibuku, dan terus bertanya:

“Bu Yun .... Ibu orang baik kan, Bu Yuun? Ibuku sangat baik hati kan yaa... Bu Yuun?”.

Ibuku berderai dan membalasnya dengan pelukan.

Budhe As, begitu saya menyapa kakak perempuan ibuku yang memiliki nama lengkap Asiyah. Beliau begitu halus budi dan tutur kata. Ya! Beliau sangaaaat baik. Saya tak akan pernah melupakan bagaimana setiap pagi, ulangi, setiap pagi, beliau duduk di kursi di ruang makan menemani saya sarapan dengan porsi jumbo yang beliau ambilkan dengan tangan beliau sendiri untuk saya (yang saat itu sangat underweight alias kurus kering, 36-37 kg di 152 cm) dan memastikan tidak ada satu butir nasipun yang tersisa di piring. Plus segelas susu sapi segar hangat yang harus saya habiskan sebelum berangkat menuju kampus Undip di Pleburan untuk mengikuti program Matrikulasi PMDK untuk jurusan Teknik Kimia.

Budhe As dan Mbak Anny. Dua sosok wanita – setelah Ibu kandung saya – yang memenuhi ruang hati saya.

Kenangan manis dan duka tentang mereka teranyam menjadi pelangi. Menjadi pengingat bagi saya manakala sedang terantuk batu kekecewaan. Menjadi pengingat bagi saya bilamana kesabaran seorang wanita tengah diuji dengan berbagai persoalan. Menjadi pengingat bagi saya bahwa ada duka yang lebih tak tertanggungkan daripada sekedar duka yang sekarang. Menjadi pengingat bagi saya bahwa Tuhan Maha Sempurna lah yang mengatur jalan hidup kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline