Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Pak Tua dan Balita di Subway Munich

Diperbarui: 14 Oktober 2015   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di dalam kereta api bawah tanah, dari pusat kota Munich menuju Bandara. Aku sibuk melihat peta perjalanan. Menghitung berapa kali perhentian dan nama perhentian itu, sebelum tiba mencapai tujuanku. Jangan sampai nyasar, bisa berabe. Karena tiket di tangan adalah fixed date ticket. Kereta melaju kencang. Bayangan tanah air dan harum bau nasi panas mengepul sudah memenuhi otakku.

Di gerbong kereta itu, rasanya hanya aku dan teman seperjalananku saja yang orang Asia, tepatnya ras Melayu. Beberapa orang berwajah oriental terlihat tak sampai hitungan jari dalam satu tangan.

Di seberang tempat dudukku, dipisahkan oleh gang untuk berlalu lalang, tampak seorang Ibu muda ras Aria dengan dandanannya yang anggun. Sophisticated. Menunjukan dari kelas mana ia berasal. Namun tak ada kesan kesombongan dan kecongkakan di wajahnya. Teduh. Seperti keteduhan pohon Kemuning yang rimbun. Dan penuh bunga. Di sebelahnya, seorang balita duduk dengan wajah bosan. Balita yang handsome. Matanya berbinar sehat. Tubuhnya gemuk namun tidak menunjukkan overdosis gizi. Dia memeluk erat boneka beruang coklat seukuran 20 senti panjangnya. Perjalanan yang membosankan, mungkin begitu pikirnya.

Di hadapan wanita itu, duduk lelaki tua kulit putih. Memakai jaket biasa saja. Terkesan lusuh. Wajahnya tua. Tampaknya lelah. Rambut lelaki itu berwarna kelabu. Demikian juga cambangnya yang tampak tak teratur.

Tanpa sengaja, boneka beruang coklat Teddy bear itu jatuh ke lantai gerbong. Aku dan temanku, dalam diam memperhatikan semua kejadian. Si Bapak tua, memungutnya. Dan meletakkan Si Teddy Bear itu dibalik jaketnya. Si Balita nampak terperangah. Memandang Bapak Tua dengan pandang penuh tanya. Matanya membulat, bibir indahnya terbuka. Lalu menoleh ke arah ibunya. Sang Ibu membalasnya dengan senyum bijak. Sejauh ini tak ada satupun kata yang terucap. Seolah kami melihat film bisu jaman dulu, hanya saja kali ini yang terlihat adalah film yang sudah berwarna dan berwujud tiga dimensi.

Tiba-tiba, Bapak Tua mengeluarkan Teddy Bear dengan gerakan mengejutkan. Memasang tampang jenaka dengan senyum lebar. Sontak, Balita Handsome yang nampaknya belum pandai berbicara itu tertawa lebar. Bahkan terpingkal-pingkal. Aku dan temanku beradu pandang dalam senyum. Bapak Tua menyerahkan boneka itu ke Balita Handsome.

Tak berapa lama, Balita Handsome itu mengulurkan tangannya. Tangan yang memegang boneka Teddy, kepada Bapak Tua. Tak ada kata-kata.

"Ayo kita main lagiiiii....", mungkin begitu maksudnya.

Si Bapak Tua menerima boneka Teddy, dan mengulangi adegan serupa. Menyembunyikannya ke dalam jaketnya yang tampak biasa-biasa saja. Repetisi adegan itu kunikmati dengan hati tersenyum. Apalagi saat melihat gelak tawa Si Balita Handsome. Indahnya interaksi antar manusia itu. Tak saling kenal. Tak tahu nama. Tak ada kata-kata. Absurd. Namun energinya membiuskan gelombang positif. Membuat, paling tidak, dua orang tersenyum dikulum. Membangkitkan imajinasi yang berlainan di masing-masing memory kami. Membangkitkan reaksi kimia rumit di dalam otak yang melahirkan efek damai.

Absurd.
Seabsurd pula interaksi antar manusia yang saling mengenal, saling tahu nama, saling berkata-kata, namun bukan gelak tawa dan bukan energi positif sebagai hasil reaksinya.

Ah, sudah sampai di bandara rupanya. Bersama calon penumpang lain, kami menyeret koper-koper kami. Counter Lufthansa yang kami tuju. Mesin self check-in berjajar. Sungguh sudah cangih, dunia di luar sana. Kembali ke Indonesia, adalah kembali ke semrawutnya kehidupan. C'est la vie.

- Karawang, 15 September 2012 - 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline