Lihat ke Halaman Asli

Siwi Sang

Pegiat Literasi Desa

Heri Bahtiar: Menulis Itu Salah Satu Hakikat Peradaban

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13969377861225596664

Dalam acara bedah buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit di gedung PLUT Pacitan, Heri Bahtiar, sastrawan dan pegiat literasi yang jadi anggota DPRD Pacitan menyampaikan bahwa menulis itu salah satu hakikat peradaban. Jika tidak ada yang ditulis nanti semua akan lenyap. Betapa penting budaya menulis. Melalui tulisan yang kita tinggalkan, kelak kita akan terbaca di jaman kemudian. Karena pena kita dikenang dan dibicarakan oleh masa mendatang.

Sekarang jaman dunia maya berkembang pesat. Banyak bahan bacaan yang dapat kita nikmati sewaktu waktu. Lalu apa bedanya membaca buku yang dicetak dengan membaca di monitor komputer? Kalau baca buku kita enjoy nyaman berjam jam merampungkan berpuluh puluh halaman tidak gampang lelah. Tetapi kalau baca di monitor, mata kita pedih perih jika membaca terlalu lama. Karena itu kita harus yakin bahwa karakter media cetak atau buku akan terus dibutuhkan sepanjang jaman.

Pada acara yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam Pacitan tersebut, Heri Bahtiar juga memaparkan pandangannya terkait buku sejarah Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit karya Siwi Sang yang banyak menampilkan tafsir baru sejarah pararaja mulai jaman Mpu Sindok sampai masa akhir Majapahit. Pada pokoknya lelaki kelahiran Kalikuning Pacitan 47 tahun silam itu merasa searus dan seide dengan alur pemikiran bahwa sejarah harus dibaca dan ditulis secara kritis, cerdas, dan kreatif.

Menurutnya, selama ini pihak pemenang yang lebih banyak menulis sejarah. Bahwa yang lebih berhak menampilkan fakta fakta sejarah adalah pihak pemenang. Ini yang jadi persoalan dalam penulisan sejarah. Kita belajar sejarah supaya tidak terjeremban dari kesalahan yang sama. Tapi kita harusnya belajar sejarah dari berbagai sisi, baik dari versi pihak pemenang maupun pihak yang kalah. Kalah karena apa dan menang dengan cara apa.

Heri Bahtiar juga menyampaikan dan mengritisi teori keruntuhan kerajaan Majapahit. Menurutnya, kalau ada teori sejarah mengatakan bahwa Majapahit runtuh akibat serbuan tentara Islam Demak, kita juga dapat mengoreksinya dengan melakukan interpretasi atau mengaji sumber sejarah seperti prasasti prasasti dan data kuat lain. Meneliti apa fakta sejarah kejadiannya seperti dalam teori itu. Karena berita sejarah yang selama ini sampai ke tangan kita, sebagaimana yang telah dikatakan Siwi Sang, sebelumnya telah mendapat banyak campur tangan atau sudah diinterpretasikan pihak asing utamanya Belanda.

Jika terbukti Majapahit runtuh karena serbuan pasukan raden Patah, kita juga harus obyektif. Tetapi jika hasil kajian sejarah terbaru menyatakan sebaliknya, sebagaimana buku Girindra, kita juga harus berani menyampaikannya kepada para pembaca sejarah nusantara. Ini sangat penting demi perkembangan dan kemajuan ilmu sejarah.

[caption id="attachment_302425" align="aligncenter" width="300" caption="Heri Bahtiar berkopiah"][/caption]

Dan sebagaimana yang termuat dalam buku Girindra, bahwa, dalam penulisan sejarah tidak berakhir dengan tanda titik, masih berkemungkinan munculnya penafsiran penafsiran baru seturun perkembangan dan penemuan bukti bukti baru.

Heri Bahtiar adalah penulis cerpen, puisi, anekdot, dan telah menerbitkan beberapa buku. Pernah menjadi wartawan surat kabar di Jawatimur. Jadi sejak lama dekat berhubungan dengan dunia literasi. Terkait gerakan budaya literasi, Heri Bahtiar berharap ada tindak lanjut sinergi khususnya antara Tulungagung dan Pacitan, bagaimana mengembangkan budaya penulisan terutama berbasis sejarah dan kearifan lokal.

Gayung bersambut. Bunda Zakyzahra Tuga, pengasuh klub penulisan Pena Ananda Tulungagung, menyampaikan bahwa daerah harus lebih giat menerbitkan buku buku bertema sejarah lokal. Selama ini, dalam pengamatan Bunda Zakyzahra Tuga, pemerintah daerah terbilang masih minim melakukan itu.

Bunda Zakyzahra Tuga menambahkan perlunya melakukan even even penulisan sejarah ke sekolah sekolah. Antara lain mengadakan lomba penulisan berbasis sejarah dan kearifan local. Kemudian hasil seleksinya didokumentasikan dalam bentuk penerbitan buku. Itu upaya bagaimana mengajak para generasi muda belajar sejarah sekaligus menuliskan sejarah.

Dalam acara di gedung PLUT Pacitan tersebut, tampil sebagai pembedah buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit adalah M. Nur Ikhwan, budayawan dan sejarawan muda Pacitan.

[caption id="attachment_302427" align="aligncenter" width="300" caption="Budayawan Tulus Setiadi dan M. Nur Ikhwan"]

13969378421486435848

[/caption]

Selain para pegiat literasi seni dan budaya, yang sangat istimewa, acara tersebut dihadiri oleh para siswa dari SMA Muhammadiyah Pacitan dan SMK I Pacitan.

Dan lebih istimewa lagi, selain mendiskusikan sejarah nusantara dan peradaban klasik Pacitan, juga mendiskusikan persoalan seputar dunia penulisan dan literasi.

[caption id="attachment_302428" align="aligncenter" width="300" caption="Anak anak muda Pacitan bersemangat literasi"]

13969379141455186338

[/caption]

***

Swi Sang-Penulis buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline