Lihat ke Halaman Asli

Ini Gaya Sekolah Kita?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang, saya tidak habis pikir akan apa yang terjadi pada anak-anak sekolah di Indonesia, pada guru-guru sekolah di Indonesia, pada buku-buku sekolah di Indonesia, juga pada RPP-RPP yang dibuat oleh para pendidik di Indonesia. Mungkin, ini hanya satu contoh yang saya alami dan saya lihat pada anak-anak didik saya. Sekolah menetapkan bel masuk pukul 06.30 dan bel pulang pukul 14.45. Setidaknya, guru dan siswa harus berangkat dari rumah pukul 06.00 (yaa, kita ambil rata-rata), namun untuk menghindari kemungkinan macet atau terjadi hal-hal tak terduga, sebaiknya guru dan siswa berangkat kurang dari pukul 06.00, bahkan saya terkadang berangkat pukul 05.40. Di sekolah, siswa diharuskan mengikuti 10 jam pelajaran (10x45 menit), itu untuk yang reguler. Sedangkan untuk yang mengikuti lintas minat atau ingin mengejar mata pelajaran ke tingkat selanjutnya (kebetulan sekolah menyediakan sistem SKS) maka siswa harus menambah jam pelajarannya hingga 12 jam pelajaran, maka kemungkinan pulang adalah pukul 16.15. Sepulang sekolah, sebagian besar siswa mengikuti les tambahan mata pelajaran di bimbingan-bimbingan belajar  atau les privat, biasanya itu dilakukan siswa pada sore hari sekitar 1 jam hingga 2 jam. Saya tidak tahu mengapa sebagian besar siswa mengikuti les-les semacam itu, apakah karena siswa merasa materi yang diberikan guru-gurunya kurang? (saya rasa tidak, karena setiap di kelas, siswa selalu mengeluh materinya sudah dicukupkan saja, jangan terlalu banyak), apakah karena siswa tidak mengerti? (saya rasa tidak, karena di sekolah tempat saya mengajar, hampir setiap anak selalu menanyakan macam-macam hal yang tidak mereka pahami dan berujung dengan kalimat “Ooo, gitu ya, Bu, maksudnya. Pantesan kok.... Pantesan tadi gak nemu jawabannya.... Pantesan yang ini mah beda...” dsb, apakah karena siswa malas mengerjakan PR? (nah, saya tidak tahu, siapa tahu karena Prnya terlalu banyak sehingga menyuruh  guru lesnya untuk mengerjakan), atau hanya karena disuruh oleh orang tua mereka? (saya pun tidak tahu).

Dari sekolah, mereka selalu membawa “oleh-oleh” untuk diri mereka sendiri di rumah. Kadang-kadang 20 soal pilihan ganda yang harus dijawab dan ditulis beserta cara penyelesaiannya, kadang-kadang berupa tugas karangan yang minimal harus 2 halaman kertas folio, kadang-kadang berupa tugas prakarya yang membuatnya begitu merepotkan, kadang pula hanya essai 5 soal namun membutuhkan jawaban 2 lembar kertas folio pula. Saya tidak tahu kapan siswa mengerjakan semuanya itu, apalagi dalam satu hari mereka tak jarang mendapatkan pekerjaan rumah lebih dari 1 bahkan hingga 3 atau 4 buah. Tak jarang pula pekerjaan rumah itu harus dikumpulkan keesokan harinya. Pernah suatu ketika pelajaran kimia di kelas XI IPA 2. Keesokan harinya, mereka hendak menghadapi 2 ulangan harian, yaitu ulangan matematika dan ulangan fisika. Sayangnya, sang guru kimia di kelas tersebut juga memberi tugas berupa 20 soal kimia yang harus dikerjakan dan dikumpulkan keesokan harinya. Saya tidak habis pikir juga bagaimana mereka mempersiapkan itu semua dalam waktu yang singkat (menurut saya). Katakanlah jika bel pulang pukul 14.45 (anggaplah siswa program reguler), maka setidaknya siswa sampai rumah pukul 15.15 (ambil saja rata-rata) atau apabila terjadi kemacetan mungkin akan tiba di rumah sekitar pukul 15.30 atau 15.45. Saya yakin, siswa baru benar-benar merasa “berada” di rumah sekitar puku 16.00 atau lebih dari pukul 16.00. Setelah itu mereka harus mengikuti les sekitar 1 jam hingga 2 jam. Habislah sudah waktu siang hari mereka. Malam harinya, mereka harus mengerjakan PR yang bisa dibilang lumayan banyak dan harus mempersiapkan beberapa ulangan untuk keesokan harinya. Habislah sudah sisa waktu mereka. Mereka pun tentu harus beristirahat, sayangnya kebanyakan dari mereka banyak yang kurang tidur. Di sekolah, beberapa dari mereka mengaku mengantuk, kurang tidur, ada pula yang mengaku begadang atau hanya tidur 3 hingga 4 jam, padahal kegiatan mereka di siang hari begitu penuh. Hari Sabtu, mereka pun masih punya kegiatan yang (harus) dilakukan di sekolah, semacam tes olahraga/pelajaran olahraga, kegiatan ektra kurikuler wajib, dsb. Hari Minggu, kadang tetap dibebani dengan tugas-tugas untuk pekan berikutnya.

Setiap hari mereka begitu, setiap minggu, setiap bulan, dan setiap tahun pun begitu (yaaa, memang ada waktu beberapa minggu seperti libur semester bagi mereka). Saya tidak habis pikir, bagaimana siswa-siswa Indonesia bisa menikmati kehidupan “crowded” seperti itu. Bayangkan saja, dengan pola keseharian yang  seperti itu, kapankah siswa-siswa punya waktu untuk hal-hal menyegarkan bagi mereka? Melakukan hobi mereka? Membaca buku yang mereka sukai? Kapankah anak-anak  perempuan punya waktu untuk belajar memasak? Kapankah anak-anak perempuan punya waktu untuk bertanam-tanam bunga, atau mungkin memelihara ikan atau bermain-main dengan kucing kesayangannya? Kapan pula anak-anak laki-laki bisa punya waktu untuk belajar instalasi listrik sederhana bersama ayahnya? Kapan pula anak-anak laki-laki belajar naik atap rumah sekedar melihat ayahnya  membetulkan genting? Kapan mereka bisa belajar musik gamelan, latihan tari, membaca buku-buku filsafat, kesehatan atau buku apapun kesukaan mereka? Kapan mereka ada waktu untuk berlama-lama di masjid mengobrol dan bercanda-canda dengan ahli ulama mendalami hal-hal yang meragukan dan rentan bagi remaja seperti mereka? Kapan mereka bisa memiliki keheningan untuk menenangkan dan mengendapkan hati-pikiran mereka yang dipenuhi gejolak masa remaja? Kapan mereka bisa punya waktu misalnya untuk belajar mendalami liturgi, tinggal sejenak di biara, melihat alam dari ketinggian, dsb?  Mengapa keseharian mereka dibuat “crowded” semacam itu?

Saya tahu mereka hidup, tapi saya juga tahu mereka pun sering lupa bahwa mereka hidup. Saya pun demikian. Ketika hidup kita penuh hiruk-pikuk, kita memang sering kehilangan “kesadaran”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline