Lihat ke Halaman Asli

siwed

Freelancer edit terjemahan

Makna Beragamnya Alat Musik pada Relief Candi Borobudur

Diperbarui: 16 Mei 2021   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Replika alat-alat musik dari relief candi, dimainkan oleh tim SOB (Sound of Borobudur) | Gambar 1: https://japungnusantara.org/

Musik bersifat universal, yang berarti musik bisa diterima orang tanpa memandang asal negara dan budaya musik itu diciptakan. Musik juga memiliki banyak manfaat, yang salah satunya adalah menghibur hati dan menenangkan pikiran atau jiwa. Saya merasakan sendiri manfaat musik yang satu ini. Di kala sedih, mendengarkan musik rohani atau musik populer berirama cepat penuh semangat sambil mendendangkan liriknya tak pernah gagal membantu saya melepaskan kepenatan pikiran dan kesesakan hati. Lega rasanya, walau bukan berarti masalah yang dihadapi lenyap begitu saja. Persoalan masih ada, tapi setidaknya pikiran dan hati saya tidak lagi "sumpek" sehingga masih ada peluang untuk mencari solusi yang baik dari persoalan itu. Sebaliknya, di kala senang, ikut menyanyikan lagu favorit bersama si penyanyinya juga mampu untuk memperbesar rasa senang di hati.

Di era modern yang serba digital dan teknologi sekarang ini saja, peran musik masih begitu besar dan penting. Apalagi di zaman dulu kala, di kala Candi Borobudur sedang gencar dibangun. Itu berarti sekitar tahun 800-an M atau malah masa sebelumnya, ketika hiburan pelipur hati ragamnya tidak sebanyak sekarang. Tentu saja, peran musik dalam menghibur orang-orang di masa itu jauh lebih besar daripada sekarang, Atau bisa jadi, musik adalah satu-satunya hiburan saat itu. Saya bisa membayangkan bagaimana masyarakat di sekitar Borobudur di masa itu suka berkumpul setiap malam hari setelah seharian bekerja keras. Mereka berkumpul untuk memainkan musik bersama-sama. Dengan bermain musik atau setidaknya mendengarkan musik, mereka melepaskan penat tubuh mereka. Hati mereka menjadi tenang dan ringan, untuk setelahnya mereka bisa beristirahat dengan lebih tenang menyongsong hari esok.

Tidak hanya menghibur hati, di masa itu ternyata musik memiliki fungsi lain yang lebih sakral. Menurut pemaparan Mbak Nurkotimah MA, selaku pembicara kedua di Seminar Online Sesi-2 Sound of Borobudur Hari Ke-2 yang ditayangkan secara langsung pada 8 April 2021 lalu melalui kanal YouTube Sound of Borobudur, musik di masa Borobudur berdiri memiliki tiga peran penting: untuk upacara keagamaan dan pemujaan, untuk hiburan (pertunjukan atau suguhan gladen senjata), dan terakhir digunakan para seniman untuk mencari nafkah.

Maka, tak begitu mengherankan apabila pada panel dinding Candi Borobudur terdapat relief alat musik yang sedang dimainkan. Namun, yang mencengangkan adalah bahwa alat-alat musik yang terpahat di sana bentuknya beraneka macam, yang meliputi semua bentuk alat musik modern, yaitu idiophone (alat musik pukul), aerophone (alat musik tiup), cordophone (alat musik petik), dan alat musik membranophone. Selain itu, bentuk alat-alat musik itu memiliki kemiripan dengan alat-alat musik yang ada di lebih dari 40 negara di dunia dan di 34 provinsi di Indonesia.

Adalah Teh Tri Utami, Bli Dewa Budjana, Kang Purwacaraka, dkk melalui Sound of Borobudur Movement yang memperkenalkan pengetahuan tersebut. Di awal April lalu, setelah berhasil mereplika semua alat musik yang terpahat di panel-panel dinding candi, mereka pertama kali membunyikannya di depan publik secara luas.

Dalam Seminar Online Sound of Borobudur, dengan adanya kesadaran baru akan beraneka ragamnya alat musik yang dulu ada di masa Borobudur, terlontar pernyataan-pernyataan seperti "Borobudur pusat musik dunia", "belum ada kepastian apakah Borobudur adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari banyak wilayah sehingga terjadi pertukaran budaya (dalam hal ini alat musik) atau apakah Borbudur adalah tempat penyebaran budaya melalui alat-alat musiknya ke berbagai wilayah di Indonesia atau dunia".

Pernyataan kedua tadi tentang apakah Borobudur adalah tempat berkumpul atau tempat menyebarnya berbagai budaya, sebenarnya bisa dijawab dengan menelusuri lebih jauh alat-alat musik dari negara lain yang punya kemiripan dengan alat musik yang tergambar di relief candi. Dari video presentasi yang ditayangkan di Seminar Online Sound of  Borobudur Sesi 3, kita bisa melihat ada sekitar 40 jenis alat musik yang memiliki kemiripan. Yaitu, Ranat Ek (Thailand), Balafon (Gabon), Marimba (Kongo/Tanzania), Ghatam (India), Mridangam (India), Udu (Nigeria), Bo (China), Bhusya (Nepal), Small Djembe (Mali/Afrika Barat), Traditional Drum (Srilanka), Muzavu (Tamil), Afrikan Drums, Tabla (India), Conga (Amerika Latin), Pipa (China), Setar (Iran), Oud (Arab Saudi), Biwa (Jepang), Lute (Inggris), Ud (Turki), Bowed String (Italia), Dombra (Kazakhstan), Ngombi (Algeria), Sakota Yazh (Tamil), Kora (Gambia), Ekidongo (Uganda), Saung Gauk (Myanmar), Zeze/Lunzenze (Kenya), One String Zither (Peru), Kse Diev (Kamboja), Kwere (Tanzania), Sheng (China), Saenghwang (Korea), Sho (Jepang), Traditional Flute (Eropa), Bansuri (India), Medieval Flute (Jerman), Daegum (Korea).

Sebagai orang awam yang tidak berkecimpung di dunia arkeologi ataupun sejarah, saya hanya mencoba menelusuri sejarah alat-alat musik itu lewat mesin pencari google. Namun, penelusuran saya ini difokuskan lagi ke alat-alat musik dari Asia Timur (China) dan Asia Selatan (India), karena menurut Bapak Drs. M. Dwi Cahyono M.Hum selaku pembicara ketiga di Seminar Online Sesi 2, Nusantara dari zaman dulu sudah mendapat pengaruh besar dari negara-negara di Asia Selatan (terutama India) dan di Asia Timur (terutama China). Maka itulah, saya lebih berusaha mencari tahu lebih banyak tentang alat-alat musik dari kedua negara tersebut yang memiliki kemiripan dengan alat musik yang ada di Candi Borobudur. Berikut hasil pencarian saya:

Alat musik Ghatam | Gambar 2: http://zoominindia02.blogspot.com/

Ghatam (India). Kata Ghatam ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti bejana. Ghatam sebagai alat musik pertama kali digambarkan oleh Resi Walmiki dalam syair kuno Ramayana, yang berusia kira-kira 500 M. Bunyi ghatam ketika dimainkan juga pernah digambarkan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta lainnya yang berisi tentang ritme dan musik, termasuk teks berbahasa Tamil Silappatikaram dari periode yang sama (sekitar 500 M).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline