Lihat ke Halaman Asli

Cahyaning Siwarka

Jangan lupa bahagia...

PETRIKOR

Diperbarui: 10 Januari 2022   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kalian tau? Jangan membebani pikiran dan menciptakan berbagai praduga apalagi persepsi tanpa tau penjelasan utuhnya.

Selalu saja ada saat dimana segala ketidakbenaran cerita ingin terus digunakan, tapi hati justru makin memberat. Kisah yang terlontar mulai membahayakan hidup secara keseluruhan. Membuka celah untuk akan adanya kesempatan menyakiti orang2 terkasih.

Terjebak. Entah sampai kapan semuanya harus disudahi. Tahun yang baru sudah kembali bergulir dan kini masih saja ada perasaan untuk melarikan diri dengan segala dosa yang mungkin tak terampuni.

Sesungguhnya apa definisi dari melarikan diri dan bagaimana yang seharusnya seorang pecundang lakukan untuk melunasi segala hutang serta kesalahan masa lalunya?

Bukan perkara mudah untuk berani keluar mengakui kesalahan bertumpuk. Ini sudah berlangsung terlalu lama dan begitu sakit. Tak tampak memang, tetapi sungguh sakit rasanya jika harus berlanjut. Namun, belum siap kiranya jika harus lantang mengakui kesalahan. Bebannya terlampau berat. Begitu bertumpuk hingga tak ada ruang singgah yang lain.

Menulis tidak lagi selancar dulu. Benar sudah kiranya jika perubahan itu nyata. Sesak teramat sangat ketika tekad dan niatan untuk berbagi luka terasa begitu menyiksa. Sadar betul bahwa ketulusan mereka akan tersakiti dengan kenyataan yg tak pernah ada. Ketulusan mereka memang candu tapi racun di luka ini. Tak kuasa kiranya bicara baik dan indah jika subjek yang tersebut sama sekali jauh dari kata benar. Tersisalah si pesakitan yang tenggelam dalam lumpur buatannya sendiri.

Desir itu selalu sama, kekhawatiran itu selalu ada, ketakutan itu teman perjalanan, hingga akhirnya penuh sudah hidup ini dengan aura negatif yang tak kunjung jelas kapan akan berakhir.

Garis finis yang didambakan sepertinya masih jauh dari kata sempurna. Mendekatpun rasanya belum. Satu persatu kawan telah memulai fase baru kehidupan mereka. Seolah tanpa beban dan menikmati keseharian mereka layaknya aliran air. Entah tanggung jawab seperti apa yang menahan langkah kecil ini. Tidak pula bebas, hanya saja sadar penuh akan risiko dan segala salah yang menimpa.

Kalau saja kalian tau, jika kenyataannya jutaan bulir air mata telah menjadi karib pada malam-malam lalu. Merasa sendiri, merasa tak memiliki teman, perasaan iri, perasaan tak diinginkan, perasaan sakit, egois yg membuncah, kesombongan serta kedengkian yang seolah tiada tanding, semuanya menggerogoti pikir.

Hidup dalam ekspektasi selangit yang muluk rupanya melelahkan, tapi tak pula kuasa mengakui fakta tersebut. Ceroboh memang, tapi inilah yang menghantui. Jangan dikira segala senyum, ketenangan, ketabahan, dan kesabaran yang tertampilkan sebagai citra benar-benar adalah definisi nyata dari diri. Justru sebaliknya, itu semua hanyalah tabir untuk menutupi sebuah alibi rendahan demi satu misi untuk menjauhkan diri dari pundak yang terkoyak oleh harapan banyak pihak.

Kalau memang masih ada telinga dan pundak yang bisa dititipi sedikit rasa sakit ini, harumnya rintik hujan pada tanah kering pun akan sangat cukup memberikan ketenangan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline