Hari ini saya akan menulis mengenai Diplomasi alutsista antara Indonesia dengan Inggris. Tulisan ini bertujuan untuk menyelesaikan Ujian Akhir Smester matakuliah Teori Hubungan Internasional. Selain itu saya berharap tulisan ini mampu membantu para pembaca mengetahui informasi baru melalui tulisan ini.
saya mengambil topik diplomasi alutsista Indonesia dengan Inggris karena diplomasi ini memberi banyak keuntungan bagi Indonesia terutama pada bidang ketahanan militer. Dimana jika di lihat dr teori realisme salah satu faktor negara bisa menjadi maju jika pertahanan militernya kuat. Oleh karena itu saya mengambil topik ini untuk menjadi bahan penulisan agar mampu memberi informasi bagi pembaca mengenai kerjasama militer yang memang menguntungkan bagi Indonesia.
Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia atau Alutsista merupakan salah satu alat yang digunakan negara untuk mengukur seberapa kuat suatu militer negara tersebut. Semakin canggih dan kuat alutsista yang dimiliki maka akan dianggap semakin kuat pertahanan negara tersebut pada bidang militer. Oleh karena itulah banyak negara yang melakukan diplomasi pada bidang alutsista dan melakukan berbagai kerja sama guna memperkuat pertahanan dan mencapai tujuan nasional suatu negara.
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Inggris dimulai dengan adanya gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda. Inggris memegang peran penting dalam perjanjian yang menyangkut Indonesia dan Belanda ini menjadi pihak yang menengahi dalam pertemuan untuk merundingkan Perjanjian Linggarjati yang menghasilkan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto dan juga Belanda harus meninggalkan Indonesia paling lambat pada 1 Januari 1949. Namun perundingan ini malah menimbulkan agresi militer pertama pada 20 Juli 1947. Kemudian Indonesia dan Belanda melakukan perundingan-perundingan lain untuk menghasilkan kesepakatan baru dan menghentikan gencatan senjata yang dilakukan oleh kedua negara (Djoko Setiadi. Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat.)
Pada 1949, Dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi kepada Indonesia dan Belanda untuk segera menonaktifkan semua kegiatan militer. Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Indonesia dan Belanda setuju untuk mengakhiri konflik yang sedang berlangsung pada 23 Agustus 1949. Pada Desember 1949 Indonesia membuka hubungan diplomatik secara bilateral dengan Inggris.
Setelah terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Inggris, Indonesia yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Soekarno cenderung lebih memperkuat kerja sama dengan blok timur. Hal ini membuat Indonesia memandang buruk blok barat termasuk Inggris (dahulu Britania Raya) karena sikap kolonialismenya. Adanya pembentukan Negara Federasi Malaysia dengan Inggris pun semakin memperburuk hubungan antara Indonesia dan Inggris. Presiden RI, Soekarno mencurigai bahwa alasan dibentuknya Federasi Malaysia adalah ide dari negara neokolonialisme untuk menyudutkan Indonesia (Ilahi Anugerah (2021). Perjuangan Diplomasi Indonesia)
Pada era pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia dengan Inggris tidak memiliki hubungan yang baik. Namun, setelah turunnya Soekarno dan digatikan oleh Soeharto, hubungan Indonesia dan Inggris perlahan mulai membaik dan salah satu alasannya adalah Soeharto cenderung lebih memihak blok barat. Ratu Elizabeth melakukan kunjungan ke Indonesia pada 1974 menandakan sebagai hal yang baik untuk kedua negara ini. Pada saat itu Inggris juga banyak membantu Indonesia. Sejak saat itu hubungan antara kedua negara ini semakin erat dan menjadi rekan kerja yang menguntungkan.
Di era reformasi pun hubungan antara Indonesia dan Inggris masih berjalan dengan baik. Pada 2018, Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryacudu memiliki agenda pertemuan dengan Menteri Muda dari Inggris untuk meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan dengan membangun kemitraan bersama Indonesia. Saat ini kerja sama yang sudah berjalan antara Indonesia dan Inggris terdapat MoU AL kedua negara, namun Pemerintah Inggris berharap dapat meningkatkan kerja sama dengan TNI AD dan AU untuk membangun sistem pertahanan yang kuat melalui latihan bersama untuk menghadapi serangan teroris. Indonesia menyikapi tawaran inggris dengan positif untuk mengembangkan kemitraan dalam kerja sama pembangunan kapal perang jenis fregat (Kementrian Pertahanan Republik Indonesia (2018))
Kebijakan dalam alutsista ini menggunakan kebijakan MEF (Kekuatan Pokok Minimum/Minimum Essential Force), MEF adalah suatu proses untuk memodernisasi alat sistem pertahanan Indonesia. Kebijakan MEF bertujuan untuk mewujudkan kebijakan pembangunan pertahanan yang ideal dan kebijakan MEF hanya untuk pemenuhan kebutuhan pertahanan Indonesia, bukan untuk perlombaan senjata.
Terdapat empat elemen pembangunan MEF yang pertama, Rematerialisasi, elemen memiliki tujuan guna menekankan pemenuhan tabel organisasi serta peralatan, kedua Revitalisasi, Revitalisasi merupakan peningkatan yang sudah disesuaikan dengan perkembangan ancaman di wilayah penempatan, kemudian Relokasi merupakan pengalihan personil dari satu wilayah ke wilayah lain yang berpotensi tinggi terjadinya berbagai ancaman, lalu yang terakhir adalah Pengadaan yang berarti pembangunan satuan baru personil serta alat-alat. Keempat elemen tersebut yang disebut sebagai flash point yang artinya bagian dari wilayah Indonesia yang telah diidentifikasi sebagai salah satu daerah yang berpotensi tinggi terjadinya banyak ancaman.
Salah satu kebijakan terkait dengan alutsista terdapat pada UU No.16 Tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut diamanatkan kepada BUMN bahwa industri pertahanan menjadi lead integrator pembangunan alutsista seperti PT PAL Indonesia yang menjadi lead integrator dalam pembangunan alutsista laut. Jadi, kebijakan MEF ini dibangun guna mengakomodasi industri pertahanan Indonesia serta mengembangkan dan memodernisasi kekuatan pertahanan Indonesia agar menjadi lebih efektif dalam menjalankan tugas perdamaian negara.