Dua bocah di Palembang hilang tenggelam sewaktu hujan deras pada hari Senin 18 November 2024. Musibah tersebut terjadi di dua lokasi berbeda yakni di kawasan Bendungan Sukajaya, Sukarami dan rawa-rawa di kawasan Alang-alang Lebar Palembang. Kepala Kantor SAR Palembang, Raymond menjelaskan, korban pertama di Bendungan Sukajaya bernama Hapsi (8) tenggelam saat mandi bersama rekan-rekannya. Saat itu cuaca buruk dan derasnya hujan membuat arus bendungan membesar. Korban diduga tidak memiliki kemampuan berenang (urban.id, 2024).
Kejadian kedua, berjarak enam kilometer dari lokasi pertama, seorang bocah laki-laki bernama Atha Paris (6) dilaporkan tenggelam ketika bermain hujan dengan teman-temannya disebabkan air yang menggenangi selokan berubah menjadi deras. Korban diduga terpeleset dan jatuh ke aliran selokan (urban.id, 2024).
Buntut kejadian itu, Walhi Sumsel menggelar aksi ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Palembang pada hari Rabu (20/11/2024). Walhi menuntut pertanggungjawaban terhadap Pemkot sekaligus ingin melihat tindak lanjut ke depan. Pemkot Palembang dianggap tidak menaati tuntutan (penyediaan ruang terbuka hijau/RTH) Walhi yang disahkan PTUN sejak dua tahun lalu menurut Ketua Koordinator Aksi Walhi di DPRD Palembang, Muhammad Rizki Syaputra (IDN Times, 2024).
Tak hanya menyoroti sikap lalai Pemkot, Walhi Sumsel juga menyampaikan keluhan soal titik rawan banjir di sejumlah wilayah meliputi Kawasan Plaju, Seberang Ulu I, Mayor Ruslan, Veteran dan RA Abusamah. Kemudian di lokasi lain Jalan Seduduk Putih, Dempo, KM 6, Jalan Sudirman/ kawasan Masjid Agung, Makrayu, Jalan Perindustrian, 22 Ilir, hingga Sultan Mansyur. Penyebab utama masalah ini, menurut Rizki, adalah penurunan daya dukung lingkungan dan kebijakan buruk tata kelola ruang hijau Palembang dalam pembangunan keberlanjutan fungsi RTH dan rawa. Menurutnya, banjir disebabkan Pemkot tak menyediakan Kolam Retensi yang cukup dan saluran drainase memadai sebagai fungsi pengendalian banjir (IDN Times, 2024).
Hujan deras yang mengguyur kota Palembang hampir dua jam pada Senin sore tersebut menyebabkan sejumlah wilayah di Palembang tergenang banjir. Dari data yang diperoleh, banjir terjadi di beberapa wilayah diantaranya Jalan Mayor Salim Batubara Sekip Pangkal, Jalan Sukabangun II, Komplek Sukarami Indah Jalan Perindustrian II. Ketinggian banjir diwilayah ini bervariasi antara 20 hingga 40 centi meter. Dari sumber rmolsumsel.id (2024) petugas dari PU Pengairan kota Palembang melakukan penyedotan di genangan air yang berada di Jalan Basuki Rahmat tepatnya di depan Rumah Makan Sederhana dengan mesin pompa air yang dibuang ke saluran yang sedang dalam perbaikan. Menurut narsum rmolsumsel, area tersebut pasti banjir jika hujan deras apalagi sampai berjam-jam, entah apa penyebabnya padahal telah ada kolam retensi. Namun sekarang selokan di Jalan Basuki Rahmat dilebarkan, diharapkan dapat mengurangi banjir.
Pada tanggal 25 Desember 2021 seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang meninggal dunia akibat kesetrum listrik saat banjir yang melanda Kota Palembang. Menurut keterangan tetangga, korban kesetrum ketika korban ingin mencabut saklar mesin air yang saat itu terpasang. Korban turun dari lantai dua rumahnya menuju lantai 1 yang saat itu sedang banjir. Korban yang akan mencabut saklar air tersebut tiba-tiba kesetrum. Banjir yang melanda hampir seluruh kecamatan di Kota Palembang sejak dini hari pada tanggal tersebut, merendam jalanan dan rumah warga dengan ketinggian mulai dari 0,5 hingga 1,5 meter. Bahkan, sampai hari Minggu (26/12/2021), sejumlah kawasan masih tergenang air karena kondisi banjir yang tak surut hari sebelumnya dan diikuti turunnya hujan kembali saat petang (Pranita dan Dewi, 2021).
Dari beberapa kota besar di Indonesia yang mengalami banjir setiap tahun, Palembang merupakan salah satunya. Hasil analisis Belladona dan Sudibyakto (2005) menunjukkan penyebab banjir di Palembang antara lain: (a) intensitas hujan menyebabkan genangan pada 44 lokasi di sepuluh DAS yang diteliti (DAS Lambidaro, Boang, Sekanak, Bendung, Buah, Juaro, Batang, Sriguna, Aur dan Kertapati); (b) kapasitas drainase tidak memadai; (c) Tinggi pasang Sungai Musi 0,7 - 2,2 m, sehingga terjadi aliran balik menuju hulu sungai kecil; (d) peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan luas area terbangun; (e) pendangkalan sungai akibat dari masyarakat yang tinggal di pinggir sungai membuang sampah ke sungai. Oleh karena itu, riset Belladona dan Sudibyakto mengusulkan beberapa alternatif penanggulangan yang direkomendasikan diantaranya: rehabilitasi saluran sesuai dengan debit, pengerukan sungai, pembuatan kolam retensi, penertiban bangunan liar yang berada di pinggir sungai, serta pengarahan kepada masyarakat tentang kebersihan lingkungan sungai.
Usulan tersebut sesuai dengan anjuran yang disarankan oleh Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi BAPPENAS (Kinasih, 2009) dimana pada tahap pra bencana banjir, seharusnya dilakukan: (1) membuat peta rawan bencana; (2) membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya; (3) menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai; (4) membuat peta daerah genangan banjir; (5) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (6) menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (7) menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; (8) membuat sumur resapan; (9) pemantapan Satkorlak PBP; (10) merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi; (11) mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu; (12) membuat penampungan air berteknologi tinggi; (13) menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS) dan memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS; (14) membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah; (15) mereboisasi kota dan daerah hulu; serta (16) mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW.
Berkaitan dengan sumur resapan, terdapat studi kasus di kota Chicago, Amerika Serikat pada tahun 2004 para penghuni rumah membeli lebih dari 400 sumur resapan sebesar 55 galon dengan biaya $15 tiap buah. Program tersebut membebankan biaya kota sebesar $40.000 belum termasuk pekerja kota. Departemen Lingkungan Hidup kota tersebut memperkirakan proyek percontohan tersebut berpotensi membelokkan 760.000 gallon limpasan air tiap tahun dari sistem selokan kombinasi, sejumlah kecil bila dibandingkan dengan keseluruhan limpasan banjir dalam kota (Kinasih, 2009).
Dalam kasus lain, Pemprov DKI Jakarta mengklaim telah terjadi penurunan titik banjir di Jakarta setiap tahunnya. Sekretaris Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Hendri menuturkan, berdasarkan data yang telah dihimpunnya pada periode 2020-2023, menunjukkan terjadi tren penurunan genangan berulang di DKI Jakarta setiap tahunnya. Pada 2020, tercatat ada 925 RW yang terdampak banjir di Jakarta. Namun, pada 2021, jumlah RW yang terdampak banjir menurun drastis (Zahdomo, 2024).