Lihat ke Halaman Asli

Sampah Jogja Menumpuk, Pilih Teknologi 1 M Milik Anak Bangsa atau 50 M?

Diperbarui: 3 Juli 2024   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: JPNN.com

Painem, salah seorang pedagang kuliner di lokasi depo Mandala Krida, Yogyakarta sempat pingsan dan dilarikan ke rumah sakit pada 15 Juni lalu saat kendaraan melakukan aktivitas pengangkutan sampah pakai backhoe karena tidak kuat baunya. Selain berdampak pada kesehatannya, kondisi tumpukan sampah yang meluber ke luar depo juga membuat penghasilannya menurun (Putri dan Zulkifli, 2024).

Menurut Sekda DIY, Beny Suharsono, jumlah timbunan sampah di Kota Yogyakarta yang belum terangkut saat ini tidak hanya 1 ton, dua ton, seribu ton, tetapi ada 5.000 sekian ton. Oleh karena itu pemerintah terpaksa membuang sampah ke TPA Piyungan untuk langkah darurat sementara. Langkah berikutnya adalah mempercepat pembangunan TPST 3R milik Pemkot Yogyakarta seperti di Nitikan, Kranon, Karangmiri, dan juga di Piyungan. Akan tetapi tumpukan sampah masih tampak tinggi hingga melebihi pagar depo Mandala Krida (Kompas, 2024).

Permasalahan sampah di kota pelajar memang semakin pelik. Lokasi TPS3R Karangmiri di Kelurahan Jagalan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul bahkan masih ditolak warga padahal sudah dibangun dan telah dilakukan ujicoba. Warga menolak dengan membantangkan spanduk bertuliskan "Tetap Menolak TPS3R. JAGALAN MELAWAN". 

Dari pihak pemkot Yogyakarta mengungkapkan bahwa warga bukan menolak, hanya perlu konsolidasi ulang. Pemerintah Kota Yogyakarta masih akan berdiskusi terkait masalah ini. Warga menyayangkan karena selama ini tidak ada sosialisasi terkait pembangunan TPS3R, padahal lokasinya dekat dengan pemukiman, dan baru pertama kali warga bertemu dengan perwakilan dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Saat pondasi dibangun, warga menyebutkan tidak mengetahui bahwa akan dibangun TPS3R (Kompas.com, 2024).

Masalah sampah di semua kota sejatinya hampir sama, semakin banyak sampah tetapi lokasi makin kurang dan teknologi yang masih kurang sesuai. Apabila menggunakan incinerator, banyak pihak yang mencemaskan dampaknya terhadap lingkungan. 

Kecuali bila sudah dapat melakukan carbon capture dari hasil pembakarannya, seperti yang sudah dilakukan beberapa negara maju contohnya Jepang, Eropa, dan Korea sebagaimana yang dinyatakan Prof. Minoru Fuji tentang LCCN (Lifecycle Carbon Neutral). Dengan metode ini limbah domestik dan industri dikumpulkan dan diangkut ke lokasi LCCN di industri kompleks, sehingga carbon capture and utilization akan lebih mudah diterapkan (detik.com, 2024).

Pengolahan sampah dengan LCCN mengolah semua jenis sampah melalui proses panas lalu menghasilkan uap (steam) atau listrik sebagai pilihan. Lalu berbagai senyawa kimia dan residu termasuk CO2 yang dihasilkan akan diproses lebih lanjut untuk diinjeksikan kembali ke dalam steam atau proses produksi tenaga listrik dalam rangka meningkatkan efektivitas produksi melalui konservasi energi (detik.com, 2024). Proses tersebut diklaim para ahli, ada perbedaan dengan proses produksi RDF dan ITF yang dianggap masih menghasilkan residu padat, cair, dan gas termasuk CO2 yang pada akhirnya masih juga menjadi ancaman bagi iklim.

Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SISPN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah jenis plastik menjadi terbanyak kedua sebesar 18,5 persen. Urutan pertama ditempati sampah sisa makanan sebanyak 41,5 persen (Mongabay, 2023). Oleh karena itu, 2 wadah komposter sangatlah bagus untuk dimiliki setiap rumah. Namun, jika sampah harus diolah dengan komposter, tidak banyak masyarakat yang memiliki ruang terbuka di lahannya dan juga butuh waktu ekstra untuk memilah dan mengelola sampah organik di rumah sendiri.

Menggunakan lubang biopori, biasanya kurang maksimal dalam menampung jumlah sampah organik yang jumlahnya banyak setiap harinya. Adapun memilah sampah organik dan anorganik lalu membuang ke TPS, kadang-kadang masih dicampur lagi oleh para petugas sampah.  Akan tetapi, bagaimanapun juga sampah yang tidak bisa berhenti muncul setiap hari tersebut, harus segera diurus dengan baik.

Sampah seharusnya dikelola dengan polluters pay principle (PPP) dan Extended Producer Responsibility (EPR). Semakin lama, sampah semakin beragam jenisnya, semakin banyak, dan sulit dikelola. Kita masyarakat termasuk polluters, jadi sudah layak bila terpaksa ada kenaikan, kita dapat menerimanya. Yang biasanya bayar sampah bulanan hanya 5 ribu, jadi bayar 15 ribu misalnya. Atau yang sebelumnya bayar hanya 15 ribu, jadi bayar 25 ribu, dan seterusnya. Setiap rumah, perkantoran, restoran, pusat-pusat pendidikan, pasar tradisional, dan supermarket seharusnya memiliki komposter untuk mengelola sampah organiknya. Secara teknis operasional, masyarakat harus menerapkan sistem penanganan sampah setempat dengan teknik 3R berdasarkan SNI 3242:2008.

Selain itu, pihak yang memproduksi barang-barang konsumsi tersebut juga harus ikut serta bertanggung jawab. Hal ini bisa dilakukan dengan turut memberikan pembiayaan untuk program pengelolaan sampah di kota tempat perusahaan tersebut berproduksi melalui pendanaan ekstra disebabkan perusahaan tersebut termasuk penyebab adanya timbulan sampah, sebagai penerapan Extended Producer Responsibility.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline