Lihat ke Halaman Asli

Kotagede: Kota Sepeda, Raja, dan Kawula

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1409121933907780652

Saya tak suka keramaian. Melakukan perjalanan sendirian ke sebuah kota yang sunyi, saya anggap terapi sepi yang menyenangkan. Orang-orang mungkin takut kesepian. Kesepian adalah penyakit abad ini yang sesungguhnya paling ditakuti. Saya mencari sunyi, semata bukan lantaran saya hobi semedi. Di kota ini, hiruk pikuk pun seolah dilingkupi hening. Saya seperti menonton sebuah film bisu.

Darwis Khudori, seorang asli Kotagede dan kini mengajar di Universitas Le Havre Prancis. Dalam bukunya “Orang-Orang Kotagede”, ia bercerita tentang kawula alit yang kalah. Setting cerpen-cerpennya di buku itu terkesan suram, jadul, dan sungguh bertolak belakang dengan gemerlap metropolitan masa kini. Tak heran karena cerita-cerita itu ditulis pada tahun 90-an. Bahasa dan plot yang disuguhkan Darwis sungguh sederhana. Lewat kenangan-kenangan masa kecilnya akan Kotagede, dibumbui masalah lazim macam kemisikinan, perceraian, atau kawin muda, kita mungkin cenderung menganggap ceritanya remeh. Jangan dibandingkan dengan cerpen masa kini yang settingnya kebanyakan di kafe, bandara, galeri, lengkap dengan atribut hedonisme lainnya. Membaca buku ini usai menyusuri sendiri lorong-lorong di Kotagede, saya jadi rindu “srunthulan” lagi ke sana.

[caption id="attachment_355565" align="aligncenter" width="432" caption="Sebuah pintu di Jalan Mondorakan"]

1409122180835354636

[/caption]

[caption id="attachment_355567" align="aligncenter" width="432" caption="Kuno dan kini diparkir bersama"]

14091222321296276129

[/caption]

[caption id="attachment_355568" align="aligncenter" width="432" caption="Sebuah toko di jalan Kemasan"]

14091222682068954135

[/caption]

[caption id="attachment_355569" align="aligncenter" width="432" caption="Jogging sambil cuci mata di pasar Kotagede"]

14091223001861678115

[/caption]

Satu hal yang saya ingat, saya tak menemukan Alfamart-Indomart dan “mart-mart”-lainnya-perusak-tata-kota yang jamak saya temui di Depok. Selama saya berkeliling di Kotagede seputar makam, alun-alun pasar, dan rumah-rumah kuno, tak sepotong pun ritel modern itu saya temui. Betapa menyenangkan!

Kotagede memang bagian dari Yogyakarta, tapi saat berada di sini, saya seolah menjejak kota lain. Kotagede ibarat kota antah-berantah yang kontras dengan Yogyakarta. Saya tak terkesan lagi dengan Malioboro yang semrawut. Seorang petugas TransYogya mengernyitkan dahi ketika saya bilang mau ke makam di Kotagede. Mungkin baginya aneh, seorang perempuan di siang bolong mau ke makam sendirian. Mestinya saya ke makam saat tengah malam mungkin, ya?

Satu Sabtu, saya tiba Yogyakarta jam delapan pagi. Tanpa mandi, hanya berganti baju di toilet stasiun Tugu, saya melangkah menuju halte TransJogja, tepatnya halte Malioboro 1. Dengan Rp.3.000, saya naik bus 2A lalu turun di halte Kehutanan. Saya berjalan kaki menuju Kotagede. Matahari di jam sembilan pagi sudah sangat membakar. Perut berontak. Untung saya menemukan warung soto yang ramai pengunjung. Terduga enak! Benar saja, seruputan pertama kuah soto yang bening, rasanya bahagia sangat.

Soto Lumayan Kang Sarman di Kotagede ini rasanya jauh dari lumayan, alias super sekali! Salahsatu karakter khas orang Endonesa adalah demen menamai merek dagangnya dengan nama yang membumi, semacam rumah makan Padang Sederhana. Dan seperti orang Endonesa pada umumnya, kita akan lebih tertarik pada figur yang membumi, seperti Jokowi misalnya, ya tho?

[caption id="attachment_355570" align="aligncenter" width="432" caption="Soto Lumayan Kang Sarman di Kotagede yang rasanya "]

14091223391571028482

[/caption]

[caption id="attachment_355571" align="aligncenter" width="432" caption="Semangkuk soto lengkap dengan "]

1409122390851510660

[/caption]

Suwiran ayam dalam semangkuk soto ini cukup banyak, lengkap dengan potongan perkedel, bihun, kol dan tomat. Aneka karbohidrat dalam satu mangkuk. Wareg bin marem, pemberontakan di perut saya tertumpas sudah. Kaki ini siap mengukur jalanan Kotagede. Di siang membakar itu, suasana kian gaduh dengan arak-arakan kampanye partai. Saya singgah ke makam Panembahan Senapati, pabrik coklat Monggo, situs purbakala bekas benteng, dan makam kerabat raja.

[caption id="attachment_355572" align="aligncenter" width="432" caption="Rumah pink di depan pabrik Coklat Monggo"]

14091224581130960817

[/caption]

[caption id="attachment_355573" align="aligncenter" width="288" caption="Pulang sekolah melintasi Hasta Rengga, makam kerabat raja"]

14091224822085045122

[/caption]

[caption id="attachment_355574" align="aligncenter" width="288" caption="Pintu menuju "]

14091225131981924172

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline