Lihat ke Halaman Asli

Secara Harfiah, Saya Sendiri, Benar-Benar Sendiri

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

untuk kenyataan yang tidak bisa digoyahkan
untuk kepercayaan yang tidak bisa dibeli
untuk keindahan yang mahal harganya
saya hanya sendiri, benar-benar sendiri

saya dan kenyataan pahit tentang naiknya fase kehidupan
saya yang tak lagi remaja dengan segala gelak tawa
saya yang harusnya berhenti berfikir tentang kenikmatan
saya yang melihat dunia dalam sosok kesempurnaan
kini hidup sudah berganti, saya sudah dewasa

dalam nayata hidup saya
dalam lingkup gerak saya
saya ini seorang laki-laki yang penuh dengan keceriaan
saya ini seorang laki-laki yang hampir tidak pernah terdiam.

duduk manis termenung,
saya sudah berubah.
ini hidup dan segala teka-tekinya
saya suka sosialisasi,
saya suka banyak canda,
saya suka tertawa,
saya sering ditertawai,
saya suka menujumpai banyak wajah..
kini,
saya duduk sendiri,
hanya berdua bersama hitam bayangan saya ketika matahari masih pada posisinya,
saat malam menjelang,
saya benar-benar sendiri,
bahkan bayangan saya yang saya sebutkan tadi perlahan menghilang...

ketika terbangun pada pagi hari,
saya hanya sendiri.
saat melangkah menyusuri hari,
saya hanya sendiri.
saat saya ingin tertawa bersama yang lain,
saya masih sendiri.
saat saya ingin menangis sambil berkeluh kesah,
saya tetap sendiri.
bahkan ketika saya lemah tak berdaya,
saya benar-benar sendiri.

jemari gagah saya menari kecil,
sambil menceritakan hidup saya.
sementara air mata mengalir, bibir saya tetap terdiam.
tidak ada suara sumbang terdengar,
jika saya penyanyi, maka saya bisu.

saya butuh ada mata,
untuk melihat saya kesakitan dan bahagia lalu menangis untuk saya.
saya butuh ada telinga,
untuk mendengar saya mengeluh dan berkata cinta.
saya butuh ada bibir,
untuk memberitahu saya mana yang salah dari bagian yang saya anggap benar.
saya butuh ada sepasang tangan,
untuk menampar saya ketika saya terlalu jauh melihat dan kemudian memeluk saya karna kasihnya.
tapi untuk kesekian kalinya,
saya sendiri, secarah harfiah.

saya dan segala hormat saya,
memohon ampun pada Pencipta saya.
saya hanya ingin tertawa sambil sesekali memekik kesakitan,
saya hanya ingin dianggap tolol lalu ditertawai
bukan malah dikasihani seperti ini..

dalam doa dan kesendirian saya,
saya meratap,
Tuhan, saya hanya ingin berteman...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline