Lihat ke Halaman Asli

Meluruskan Definisi Open Minded

Diperbarui: 13 November 2020   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Open minded pada dasarnya memiliki arti berpikiran terbuka, orang-orang yang open minded seharusnya adalah mereka-mereka yang berpikiran terbuka dan mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan prinsip yang dia pegang. Tapi nyatanya akhir-akhir ini, istilah open minded kerap kali digunakan secara kurang tepat sehingga mengalami pergeseran arti.

Belakangan ini istilah open minded sering kali muncul di media sosial, terutama Twitter, tetapi sesering itu pula istilah itu mengalami pergeseran arti. Seringnya, open minded digunakan sebagai pembenaran atas perilaku yang kurang lazim bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Open minded dihubungkan dengan kebebasan diri secara penuh untuk bersikap dan berperilaku, namun justru apabila ada yang menegur atau memiliki pendapat bertentangan dengan dirinya, ia tidak terima dan menyalahkan orang yang berbeda pendapat tersebut tidak open minded.

Ambil contoh, sering kali kita temukan di media sosial jokes-jokes yang menyerempet keyakinan atau peristiwa tertentu. Tentu hal ini hanya dimaksudkan sebagai candaan, tapi tidak menutup kemungkinan juga terdapat pihak-pihak yang menganggap hal-hal tersebut sebagai hal yang sensitif sehingga tidak patut dijadikan bahan bercandaan. Ketika pembuat jokes itu ditegur, pengikut-pengikutnya kadang justru menganggap pihak-pihak yang menegur ini tidak open minded karena tidak bisa menerima hal tersebut sebagai candaan dan malah menganggapnya sebagai suatu hal yang serius. Lagi-lagi dalil kebebasan dalam mengekspresikan diri akan digunakan sebagai dasar untuk membela.

Media sosial merupakan tempat di mana kita bisa mengekspresikan diri kita sebebas mungkin (kasus open minded tadi merupakan salah satu bentuknya). Kita bisa menjadi siapa saja dan memposting apa saja melalui media sosial yang kita kelola. Tidak ada aturan baku yang mengikat di media sosial selain syarat dan ketentuan dari pengembang platform itu sendiri. Media sosial bagaikan hutan rimba dengan hukum alamnya, merupakan gambaran paling liar dari sistem demokrasi. Di sini setiap orang bebas berpendapat, lalu pendapat yang mendapatkan banyak dukunganlah yang akan menang, terlepas dari kebenarannya. Dan seperti layaknya hutan rimba, dukungan-dukungan itu juga dapat berbalik menyerang pihak yang dulu didukung bila terdapat sedikit saja cela. Inilah yang biasa disebut dengan cancel culture.

Kebebasan dalam mengekspresikan diri di media sosial bukan tanpa konsekuensi, terdapat hal-hal yang perlu menjadi perhatian pengguna media sosial. Ketika seseorang menulis, membuat konten, atau memposting sesuatu di media sosialnya, postingan tersebut akan terus ada di media sosialnya sampai pada suatu ketika dia sendiri yang menghapusnya. Begitu juga dengan komentar, setiap komentar yang ditulis dapat dilihat oleh seluruh pengguna media sosial itu, bahkan bisa sampai keluar media sosial tersebut. Sekarang bayangkan apabila seseorang menulis sesuatu yang kurang senonoh atau membuat lelucon mengenai isu-isu yang sensitif. Lalu konten tersebut akan terus tersimpan di media sosialnya sebagai jejak digital. Lalu suatu saat seseorang menemukan konten tersebut dan memviralkannya, berkata bahwa hal tersebut tidak patut dijadikan lelucon, dan mendapat banyak dukungan dari netizen. Ya, sudah dapat ditebak, akan terjadi yang namanya cancel culture. Orang-orang yang dulu ikut tertawa melihat lelucon tersebut mungkin sekarang akan balik menyerang sang pembuat lelucon.

James Gunn, sutradara franchise Guardians of the Galaxy, pernah mengalami hal ini. Pada pertengahan 2018 lalu ia dipecat oleh Disney ketika sedang menggarap film ketiga dari franchise tersebut. Pemecatan ini akibat dari rentetan tweet kontroversialnya tentang pemerkosaan, pedofilia, peristiwa 9/11, dan hal lainnya pada tahun 2008-2011 (sebelum film Guardians of the Galaxy rilis) yang ditemukan oleh seorang jurnalis. Ya, mungkin pada saat itu hal-hal tersebut masih biasa dijadikan bahan bercandaan, atau mungkin pada saat itu ia belum mengerti dampak yang dapat ditimbulkan dari tweetnya. Ya, tweet tersebut ditulis bertahun-tahun lalu yang mungkin saja James Gunn yang sekarang sudah tidak seperti itu lagi, tapi itulah yang terjadi. Jejak digital sangat kejam, bahkan postingan bertahun-tahun lalu dapat menghancurkan karier seseorang dalam sekejap. Dan yang lebih menakutkan lagi, hal tersebut bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk kita. Maka dari itu, marilah kita lebih berhati-hati dalam bermedia sosial.

Berhati-hati dalam bermedia sosial buka berarti membatasi kebebasan berekspresi seseorang, tetapi memang sudah seharusnya kita sedari awal menyadari batas-batas dari ruang kebebasan berekspresi kita. Sebagai salah satu bagian dari bangsa Indonesia, sudah seharusnya kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila pada setiap segi kehidupan, termasuk dalam bermedia sosial. Pemahaman dan pengamalan terhadap nilai-nilai Pancasila ini merupakan hal yang dasar tapi justru sering terlupakan oleh kita. Mulai dari sekarang dan mulai dari hal kecil, mari kita mulai mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam bermedia sosial, demi mencegah kemungkinan timbulnya dampak buruk dari perilaku kita di media sosial.

Kita harus menghargai setiap keyakinan dan agama yang ada di Indonesia dengan tidak membuat lelucon tentangnya di media sosial. Kita harus menjaga persatuan di Indonesia dengan tidak menyebarkan kabar-kabar palsu di media sosial, senantiasa melakukan saring sebelum sharing sesuatu di media sosial. Bersikap biasa terhadap perbedaan pendapat serta menghargai kemajemukan di masyarakat itu sendiri merupakan salah satu contoh kita mengamalkan Pancasila. Karena hak kebebasan pada diri sendiri dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain, dan sebelum kedua hal itu saling berbenturan dan menimbulkan konflik, marilah kita membatasi diri dengan berhati-hati dalam menulis atau memposting sesuatu di media sosial.

Open minded bukan berarti kebebasan seluas-luasnya dalam melakukan sesuatu dan meminta pemakluman orang lain. Open minded berarti tahu batas dan terbuka terhadap sesuatu yang baru, sambil tetap teguh memegang nilai-nilai dasar kita, yakni Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline