Lihat ke Halaman Asli

SITI ZAKIYAH

MAHASISWI

Halal pada Kosmetik, Pentingkah?

Diperbarui: 30 Maret 2022   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kosmetik adalah bahan yang digunakan pada area wajah untuk menutupi ketidaksempurnaan pada kulit, sehingga hasil wajah akan terlihat lebih menarik dan perempuan akan lebih percaya diri.  Saat ini, konsumsi masyarakat akan kosmetik semakin meningkat, namun tidak diimbangi dengan pengetahuan dasar mengenai pemilihan kosmetik yang tepat, dan mengenai kandungan kosmetik yang aman bagi kulit. Sehingga tidak jarang, ada kasus yang terjadi akibat penggunaan kosmetik yang tidak tepat maupun kosmetik dengan kandungan yang berbahaya (Intansari, 2016).

Membangun sebuah kepercayaan dan rasa aman dari sebuah produk adalah prinsip dari produsen, sedangkan mendapatkan rasa nyaman dan aman adalah keinginan konsumen, karena inilah Sertifikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) hadir di tengah masyarakat. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU JPH”)). Sertifikasi halal melibatkan 3 pihak, yaitu BPJPH, LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI. BPJPH melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal LPPOM MUI melakukan pemeriksaan kecukupan dokumen, penjadwalan audit, pelaksanaan audit, pelaksanaan rapat auditor, penerbitan audit memorandum, penyampaian berita acara hasil audit pada rapat Komisi Fatwa MUI. 

Kewajiban sertifikat halal untuk produk kosmetik, obat-obatan, dan barang gunaan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (“PP 39/2021”) merupakan tahap kedua dari pemberlakuan PP 39/2021.  Pada tahap pertama, aturan tersebut mewajibkan sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, serta hasil dan jasa sembelihan. Kewajiban sertifikasi halal bagi produk obat-obatan, kosmetik dan barang gunaan ini bertujuan menghindarkan para pelaku usaha dari potensi kesulitan khususnya dalam menjaga keberlangsungan dan pengembangan usahanya.

Kosmetik halal merupakan satu dari banyak klasifikasi produk di Indonesia yang dianjurkan untuk mendapatkan sertifikasi halalnya dari MUI. Sertifikat Halal (SH) adalah dokumen yang diterbitkan berdasarkan fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang.

Regulasi yang disandarkan pelaksanaan sertifikasi halal pada setiap aktivitas produksi oleh perusahaan atau perorang harus sesuai dengan arahan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat –obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sebagai lembaga yang memberi label kehalalan produk menjalankan tugasnya mengacu  dengan  sejumlah peraturan pemerintah seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal, Peraturan Menteri Agama No. 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 33 Tahun 2014 (UU JPH),  Undang-Undang (UU) No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Mengutip dari laman halalmui.org, menjelaskan ada persyaratan sertifikasi kriteria SJH (Surat Jaminan Halal) pertama Kebijakan Halal. Kedua, Tim Manajemen Halal.  Ketiga,  Pelatihan. Keempat, Bahan, Fasilitas Produksi yang di dalamnya terdapat kualifikasi sertifikasi produk seperti Industri Pengolahan Pangan, Obat-obatan, Kosmetika. Ada juga Restoran, Katering atau Dapur. Rumah Potong Hewan (RPH). Keenam, ada Produk. Ketujuh, ada Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis. Pada urutan kedelapan ada Kemampuan Telusur. Bagian Kesembilan, ada Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria. Kesepuluh, ada Audit Internal kemudian yang terakhir ada Kaji Ulang Manajemen.

Kewajiban bersertifikat halal oleh BPJPH mulai diberlakukan sejak 17 Oktober 2019. Pada tahap pertama, kewajiban ini diberlakukan untuk produk makanan, minuman, serta hasil dan jasa sembelihan. Hal tersebut sekaligus menandai dimulainya era baru sertifikasi halal di Indonesia sebagai amanah Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang mengatur bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Sertifikasi halal sejak itu dilaksanakan oleh BPJPH sebagai leading sector secara administratif dengan melibatkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang berwenang dalam pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan fatwa kehalalan produk. Kewajiban sertifikasi halal termasuk untuk produk kosmetik berlaku mulai 17 Oktober 2021. Hal ini sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

Lima alasan kosmetik perlu disertifikasi halal, yaitu memenuhi konsumen Muslim, keunggulan kompetitif, memenuhi peraturan pemerintah, beberapa bahan kosmetik kritis dari segi kehalalannya, serta beberapa kosmetik tahan air, ada beberapa tantangan yang dihadapi industri kosmetik di Indonesia. Diantaranya, tidak semua produk kosmetik yang diedarkan dan diperdagangkan di Indonesia telah bersertifikat halal, masih banyak produk kosmetik impor, perlu percepatan sertifikasi halal produk kosmetik, serta perlu terciptanya ekosistem halal seperti tersedianya bahan dasar yang halal di Indonesia. Seperti yang dikutip dari MUI.or.id, Direktur Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik, BPOM RI, Dwiana Andayani, membahas “Persyaratan Label untuk Produk Kosmetik di Indonesia”, menambahkan aturan terkait label kosmetik, tertulis dalam Peraturan BPOM Nomor 30 Tahun 2020 tentang Persyaratan Teknis Penandaan Kosmetika. Khususnya, dalam Pasal 2, penandaan pada label kosmetik harus memenuhi beberapa kriteria. pertama, lengkap dengan mencantumkan semua informasi yang dipersyaratkan, seperti nama produk, keunggulan, cara penggunaan, bahan, produsen, masa kadaluarsa, dan sebagainya. Kedua, obyektif dengan memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat keamanan dan kemanfaatan kosmetika. Ketiga, tidak menyesatkan dengan memberikan informasi yang jujur, akurat, dapat dipertanggung jawabkan, dan tidak boleh memanfaatkan kekhawatiran masyarakat akan suatu masalah kesehatan. Keempat, tidak menyatakan seolah-olah sebagai obat atau bertujuan untuk mencegah suatu penyakit.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline