Lihat ke Halaman Asli

Menyatukan Adab dan Ilmu dalam Retorika Dakwah: Memadukan Dakwah yang Berakar pada Kebenaran

Diperbarui: 25 Juni 2024   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Retorika Dakwah

Oleh: Syamsul Yakin dan Siti Wardatul Jannah (Dosen dan Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Sebagai sebuah ilmu, dakwah dan retorika harus didasarkan pada prinsip kebebasan nilai. Artinya, pengembangan ilmu dakwah dan ilmu retorika harus semata-mata berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Baik ilmu dakwah dan ilmu retorika tidak boleh dikembangkan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor selain dari ilmu pengetahuan itu sendiri, seperti pertimbangan adab.

Namun, dalam ilmu dakwah dan retorika, terdapat norma-norma perilaku atau adab. Meskipun kedua ilmu ini dianggap bebas nilai, tetap harus memperhitungkan kebenaran dan konsekuensi yang mungkin timbul. Dengan demikian, ilmu dakwah dan retorika tetap terikat pada nilai-nilai adab yang berasal dari ajaran agama dan budaya.

Dalam retorika dakwah, adab dan ilmu harus disatukan. Dalam konteks ini, prinsipnya adalah bahwa ilmu bukan hanya untuk pengetahuan semata, melainkan untuk memperbaiki kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dengan kata lain, ilmu harus bermanfaat bagi kemanusiaan. Kehadiran adab menjadi sangat penting dalam konteks ini.

Secara praktis, retorika dakwah bukan hanya tentang kemampuan berdakwah yang efektif dan efisien, menarik, dan atraktif, tetapi juga mengenai turan tentang kesopanan, keramahan, dan perilaku yang mulia. Terlebih lagi, pada awalnya dakwah bersifat subjektif, dogmatis, dan sarat dengan nilai-nilai. Demikian pula, retorika pada dasarnya berakar dari budaya dan berasal dari satu sistem nilai.

Saat retorika muncul dari dalam budaya, berkembang menjadi seni berbicara, kemudian meningkat menjadi pengetahuan, dan akhirnya dianggap sebagai ilmu yang tetap, pada tahap paling tinggi ini retorika perlu diikat oleh adab. udaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia harus senantiasa bersatu dengan nilai-nilai adab.

Demikian pula dengan dakwah. Dimulai dari dogma atau ajaran agama, kemudian berkembang menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum diuji secara ilmiah, dan akhirnya menjadi ilmu dakwah yang kokoh. Tentu saja, ilmu dakwah juga harus senantiasa disertai dengan prinsip-prinsip adab. Dalam berdakwah, pentingnya kesopanan, keramahan, dan budi pekerti seorang dai menjadi hal yang tidak bisa diabaikan.

Menggabungkan adab dan ilmu dalam retorika dakwah menjamin dua hal. Pertama, menghindari terjadinya komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah mengubah dakwah menjadi sesuatu yang bisa diperjualbelikan atau dijadikan barang dagangan. Biasanya, komodifikasi dakwah dilakukan dengan dalih profesionalisme dan manajemen. Dai yang berilmu dan beradab menolak konsep ini.

Dai dan mitra dakwah itu dilarang keras mengkomersialisasi dakwah. Dai dan mitra dakwah harus menghindari mengkomersialisasi dakwah. Namun, mereka diperbolehkan untuk menyampaikan dakwah dalam konteks bisnis karena banyak Nabi, sahabat, dan ulama yang juga berprofesi sebagai pedagang. Dai harus menjadikan dakwah sebagai bagian hidupnya, bukan satu-satunya sumber penghidupan.

Kedua, memadukan ilmu adab dan ilmu dalam retorika dakwah akan membawa dai kepada profesionalisme yang sejati. Profesionalisme di sini bukanlah tentang popularitas, memiliki manajemen, atau harus menerima bayaran, melainkan memiliki adab dan ilmu dalam berdakwah dan beretorika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline