Lihat ke Halaman Asli

Siti Swandari

Penulis lepas

Darah Biru yang Terluka ( 93 )

Diperbarui: 25 Juli 2015   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: blog.ub.ac.id"][/caption]

Bagian ke Sembilan Puluh Tiga : TRAGEDI DI MALAM JAHANAM


Mereka lebih menyebar mengepung aku, yang disebelah kiri mengangkat kursi dan dibalik, kaki kursi menghadap kearahku.
Tiba-tiba dia lari akan menabrak aku dengan kursi terbalik itu, cepat tutup bufet itu aku buka dan terjadi benturan yang hebat.

Dia terpeleset dan terpelanting, kepalanya membentur kaki lemari samping – berusaha gerayapan bangun dan duduk dipojok mengusap kepalanya yang benjol.

Aku sendiri terhempas kena benturan itu, keris itu terlepas dari tanganku , melayang dan mengores kaki salah seorang dari mereka, darah kembali tercecer

“Dimobil ada obat – cepat dan balik sini lagi.” Bentakan dan batuk itu, aku kenal betul siapa pemiliknya.

 Dengan cepat mereka bergerak mengeroyokku, aku tendang vase besar di depanku dengan keras, pecah berantakan .
Kutendang lagi meja kecil disamping vase itu, dan mengenai sipemberi perintah diselakangannya, dia mengaduh sambil batuk-batuk.

Tiba-tiba pintu pavilyun samping terbuka dan seorang dengan tutup kepala, siap hendak menghajarku dengan pentungan yang dibawanya.

Aku cepat memburunya dan menabraknya dengan keras, kuhentakkan tubuhku  dan kita jatuh bergulingan, terdengar jerit – suara wanita ?

Kuhantam kepalanya dan kutindih dia kemudian kubuka tutup kepalanya, pisau sudah kusiapkan menghujamnya, kulihat …aku terbelalak, rasanya tidak percaya, …

Sebuah pukulan telak hantam kepalaku , aku terpelanting
Kepala ini terasa berdengung, berdenyut keras dan darah mengucur membasahi bajuku, aku berusaha tertatih bangun

Sebuah pukulan lagi menghantamku, aku terpental dan semua gelap, hitam, pekat, aku tidak ingat apa-apa lagi.


.Kukejap-kejapkan mata ini, aku tersadar, didalam mobil ?
Mobil yang berjalan kencang sekali, kepalaku rasanya berdenyut hebat, bau anyir disekujur tubuhku, darah yang membasahi hampir seluruh tubuh.

Aku menata nafas ini, kuatur perlahan, kaget aku – ternyata dibawah kakiku ada tubuh manusia.

Tubuh Achsan, digeletakkan dibawah jok mobil, aku menarik nafas, kutata kembali, kuatur nafas ini lagi.
Kepalaku rasanya berdenyut sakit sekali, terasa bumi ini berputar, aku pejamkan lagi mata ini, kupegangi tempat duduk mobil ini, tanganku lengket pekat oleh darah.

“Cepaaat, … polisi sudah mengejar kita,… “ sayup aku dengar sirene polisi dari jauh.
Kulirik didalam mobil ada dua orang di depan dan satu orang dibelakang bersama kita.

“Ceeepaat, …lelet amat sih, bisa nyopir enggak ?” yang dibelakang berteriak panik, sirene polisi kedengaran makin dekat.

“Diammm kamu …. “ si sopir berteriak, kemudian memaki serta mengumpat dari depan dengan berang., mobil jadi oleng.

 Terdengar umpatan si sopir, kepalaku rasanya pusing yang tak terkirakan, kusandarkan kepalaku, kututup mata tapi masih terasa pusing yang memuncak.

Sepertinya aku tidak sadar sejenak karena sakit dikepalaku yang menyengat.

“Kalau sudah dekat, lemparkan keluar laki-laki tolol itu, biar ketabrak mobil polisi sekalian,…” terdengar tawa mengerikan

Kurasakan mobil ini makin kencang dan sirene polisi terus mengikuti dari belakang.
“Buka pintunya …toloooll…” perintah si sopir

Angin masuk dengan kencang, dia berusaha menyeret tubuh Achsan yang besar, rupanya kesulitan
“Kamu didekat pintu, … dasar goblok tolol, terus tarik tubuhnya dan lempar keluar, …”

Yang seorang dimuka berusaha beralih kebelakang, mobil tiba-tiba oleng lagi – seolah lepas kendali, terdengar sumpah serapah,

Yang mau kebelakang terpelanting jatuh lagi kemuka

“Kamu dasar sopir ndeso, bisanya nyopir sapi, ..yang bener bego…”

Pintu belakang makin lebar dibuka, dia beralih kedekat pintu berusaha menarik tubuh Achsan keluar.

 Angin ini seolah memberi tenaga baru padaku, ada kesegaran kurasakan dibadan

Dengan sekuat tenaga aku tendang dia, kaget, geragapan, cepat mencari pegangan pada baju Achsan.

Dia berusaha memegang kakiku, tetapi dengan kaki kiri ku dugang dia sekuat tenaga ( menendang dengan telapak kaki) .

Kedua orang itu terlempar keluar dan sebuah pukulan menghantam lagi kepalaku dengan telak, sayup aku dengar umpatan dan sirene polisi yang makin menjauh.

Semua berputar lagi, aku tak sadarkan diri, hitam pekat tak merasa sesuatu apapun.

Angin laut kurasakan, sayup dan lembut ombak laut seperti menyapaku
“Sudah mampus bajingan itu ?” suara wanita, tante Kamti ?

“Biar dia merasakan sobekan dan gigitan hiu disana nanti jeng.” Suara itu dengan batuknya yang khas, oom Darko.

"Sekali ini jangan gagal, priyayi konyol, ...janji-janji terus, kosong nol besar."balas tante Kamti ketus

Sebisanya aku menahan nafas, sepatu itu persis ada didepan mukaku, depan hidungku yang terkapar dipasir pantai

“Masih nafas enggak, … ayo cepat tenggelamkan didaerah dekat karang itu, yang banyak hiunya, biar ibunya tahu, anaknya mampus, …. “ terdengar tawa yang histeris

 “Terang bulan, tapi lautnya kok berombak ya, … cepat gotong ketengah.” Suaranya melengking tinggi.

Aku melemaskan seluruh ototku, aku pernah belajar cara seperti itu sewaktu di Galuga, untuk melepas penat dan lelah, diajari Nyai Gandhes.

Empat orang menggotongku berjalan masuk kelaut, dipimpin oom Darko yang jalan dimuka
“Kesana, … ketengah lagi, …terus … hah …lelet buanget, … “ tante Kamti berteriak-teriak.

Air laut mengguyur tubuhku, menyiram luka dan lebam diseluruh tubuhku dan angin laut berembus amat lembut membelai.

Tiba-tiba aku merinding, aku pernah merasakan hal yang sama seperti itu, hembusan lembut angin itu perlahan makin menderu tapi tetap terasa halus.
Kurasakan bak tangan seorang puteri cantik baik hati yang sedang bercanda.

Ombak makin mendesau, angin juga makin menderu, tapi masih kudengar jeritan tante Kamti untuk terus berjalan ketengah.

 Beberapa orang yang menggotongku mulai kesulitan karena diterpa guyuran ombak dan dorongan angin yang kian kuat berhembus, menderu, mereka mulai mengumpat sana-sini

Tiba-tiba oom Darko berhenti, menatap satu persatu orang-orang menggotogku
“Sekali lagi kamu ngomel, kamu akan menemani perempuan laknat ini dimakan hiu dilaut sana … ngerti !!! “ dia berteriak disertai batuknya.
Mereka terus melanjutkan jalan makin ketengah laut, yang tampak lebih menggila.

Ada rinding yang hebat ditengkukku, kutengok ketengah laut.
Aku bisa merasakan dan mengenal, mengerti siapa yang bakal datang dalam keadaan seperti ini.
Bulan yang bersinar benderang, tanpa setitik awanpun, membuat pandangan ketengah laut makin jelas, aku menyipitkan mataku, menajamkan penglihatanku.

Dan pemandangan yang membuat jantung ini hampir runtuh, tampak disana, ditengah laut… apakah itu mungkin terjadi ?
Kugeleng-gelengkan kepalaku, kulihat lagi, jantung makin berdenyar keras dan perlahan air mata ini jatuh berderai berbaur dengan gemuruhnya air laut yang menerpaku ….

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline