Lihat ke Halaman Asli

Siti Swandari

Penulis lepas

Darah Biru yang Terluka ( 92 )

Diperbarui: 23 Juli 2015   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar:koioko.blogspot.com"][/caption]

Bagian ke Sembilan Puluh Dua : QUE SERA, … WHAT WILL BE


Diberikan hape itu padaku “ Ria mau ngomong, … “ kata Achsan

“Put, kata Made kalian tadi baru makan sate pak Pahing ya, …tahu enggak kamu, dihadapanku ini ada sate ayam yang masih kemebul, lontong dan bumbunya yang gurih kental, mirip di Surabaya itu, .… kok kita bisa sehati ya ?” aku tertawa.

“Iya tadi kita ke pak Pahing, terus pulangnya mampir beli kacang godog dan singkong empuk itu, … eh iya, ada tape sukunnya barang lho, sukaanmu – paknya juga nanyain kamu, dia baru pulang dari Madura dan bawa tape sukun, …sukunnya tua-tua , wis pokoke suedeep.” Kudengar Ria mengendus

“Pengiiiiiinn, .. kamu lagi makan tape sukun ya sama Achsan --- curang kamu. Besok-besok klo ke Surabaya aku harus balas dendam, … “ kudengar ada suara agak berisik disana

 “Ada apa Ri ? “ aku tanya
“Hehehe, ,ada beberapa orang ngawasi aku, ngomongku radak kebanteren, kebablasen … “ kudengar sayup suara tertawa Made .

“Oh iya Put, kita mau ke Lembah Dewa ntar malam.”
“Kok malam-malam gitu sih ?”

“Supaya kita bisa sampai di Lembah Dewa masih lumayan pagi.”
“Gak bahaya tuh, naik gunung dalam kegelapan gitu ?”

“Made udah hapal jalannya, hawanya juga enak, sejuk, nyaman, … “

“Hati-hati ya, …mmm, eh, rupanya terang bulan lho, disitu bulannya bersinar apik enggak ?” kupandang di angkasa, tampak bulan bersinar dengan benderang tanpa awan sedikitpun.

“Iya, padang-mbulan kayaknya, ini aku sedang melihat bulan, cantik ya, …”

“Ada apa kamu kesana, berbenah istanamu lagi ?” terdengar dia teratawa

“Iya, Made mau membetulkan jalan yang menuju ke telaga itu. Kan jalannya berbatu, kasihan nanti jika ada puteri cantik mau lewat sana, bisa kepleset dia, …” terdengar lagi tertawanya

 “Pokoknya ati-ati ya, aku masih pengin ketemu kalian di Lembah Dewa… luv U .”

Kukembalikan hapenya ke Achsan, kemudian dia menunjukkan beberapa gambar yang didapat dari Made tentang keadaan Lembah Dewa-nya Made..

Sepertinya agak serem juga, Tangkupan Perahu adalah gunung yang masih suka murka, banyak batu-batu bertebaran, diselang seling rerimbun semak belukar disana sini.

“Ini naik terus ya San ?” Achsan mengangguk

“Nah ini Lembah Dewa itu, ini- ini gua mereka, … asyik ya ?”

Aku pandang gua dan Lembah Dewa yang ditunjukkan Achsan padaku, aku kok malah merasa bergidik membayangkan semua, apa asyiknya ?

“Disekitar gua ini banyak bunga mawarnya lho, ini- ini lagi bermekaran -- pasti kamu suka. Ini api abadinya dan ini telaga dan air terjunnya.” Kupandangi semua dengan cermat, iya indah, penuh kehijauan yang subur, hawanya pasti sejuk.

“Ini apa San ?” kutunjukkan gambar yang agak pekat tapi ada binar kelap-kelip dibanyak tempat.

 “Ya itu Lembah Dewa jika malam hari, banyak kelap kelip disana.”
“Lampu penduduk ?” Achsan menggeleng

“Bukan, tidak ada perkampungan disana. Kelap-kelip itu bisa beralih sana sini, bukan kunang-kunang pula, kadang bahkan bisa terbang dan hilang kelangit.”

Kupandangi dia, Achsan kelihatan bergairah dan sepertinya ingin sekali kesana.

“Aku kepingin kesana Put jika kita liburan nanti. Made sudah menyiapkan semua untuk kita. Rencananya aku dan Made ingin turun ke Lembah Dewa, melihat ada apa disana. Kamu dan Ria di gua saja, baca-baca – renang, makan-makan, ndengerin musik, bercanda, nyantai, …” aku mengangguk perlahan agak ragu.

“Please, …kita kesana ya klo libur ?” pinta Achsan

“Iya, .. aku juga pengin kesana, asal sama kamu.” Aku menjawab dan di – yees, dengan semangat oleh Achsan.

Kupandangi sekali lagi gambar Lembah Dewa itu, terus terang ada gidik dihati ini, merinding , tapi ada rasa pengin tahu juga -- disana kan ada Ria, Made dan juga Achsan, … mestinya jadi asyik .

“Kok kita gak boleh ikut jika kalian turun ke Lembah Dewa, kenapa ?”
“Kita mau cari jalan yang aman dulu, Made pernah kepleset waktu mencoba sendiri kesana. Kita sudah siapkan beberapa peralatan untuk mendaki gunung.”

“Hati-hati San, mungkin berbahaya. Belum ada jalan setapaknya kah ?”
“Belum, nanti kita mau bikin, baru kamu dan Ria turun kesana bersama.”

Sampai malam aku masih membayangkan andai kita berempat jadi menapaki jalan menuju Lembah Dewa itu, ada apa ya disana.

Kurasakan keadaan kamarku yang redup nyaman dan hawa terasa makin sejuk, mata ini sayup mengantuk, dan tak terasa aku terlelap.

 

********

 

Terdengar gebrakan dipintu, aku tergagap, cepat sadar, langsung memegang pisau dan menekan miskol pada Achsan.

Lampu dinyalakan, dan dipintu berdiri beberapa sosok manusia bertopeng, wajahnya ditutup rapat, kulihat beberapa memegang kayu pemukul.

Mereka semua memperhatikan aku, pandangannya kearah tanganku yang memegang pisau yang sudah terhunus.
Seseorang berbisik pada yang lain “Awasi pisaunya, bahaya, …”

“Puteriiii, …Puteriii … “ kudengar suara Achsan diluar, mereka kaget dan kemudian memaki, mengumpat, menyumpah

“Tangkap dia, … awas dia jago karate …” kulihat ada 4 orang bergegas keluar.

“Awaassss Sannnn ….” Aku berteriak sekerasnya

Dan aku dengar gedubrak-gedebuk agak lama, yang seorang lagi keluar dengan geram, sambil mengumpat keras. Terdengar kaca pecah berantakan

Kemudian sepi, aku memandang dua orang yang berdiri depan pintu mengawasi aku, kutatap mereka juga, tangan ini rasanya bergetar memegang pisau.

“Jagoanmu itu keok – keluar kamu, atau kuhabisi dia jika kamu tidak mau keluar, aku menghitung sampai tiga, …” seseorang mengancamku

“Minggir kamu dari pintu, … “ kataku keras, apa ya yang terjadi dengan Achsan ?

Aku melangkahi tempat tidurku dan berjalan dengan waspada kepintu.

Tiba-tiba tanganku disergap dan ditarik keluar dengan keras, aku terlempar tapi pisau ini sempat kusabetkan dengan cepat.

 Suara mengaduh disertai makian terdengar, badanku terlempar, menabrak bufet .

Darah kelihatan berceceran dari lengannya, dia mengumpat, akan maju memburuku, tapi dihalangi oleh temannya .

.Kaca bufet itu berantakan terhempas badanku, cepat kusambar sebuah keris dalam bufet itu, langsung kucabut dan kuhunus.

Ada keris dan pisau dikedua tanganku, kiri kanan dan di dekat tempat duduk kulihat tubuh Achsan terkapar

Bajunya robek berantakan, badannya bersimbah darah dan kelihatan tidak bergerak samasekali.

Dada ini serasa mau meledak, nafasku turun naik, dan didepanku ada 7 orang bertopeng dengan pemukul dan pisau ditangan mereka, semua mengawasi aku dan seolah siap menghabisi aku.

Kupegang erat keris dan pisau itu sampai terasa gemetar tanganku, yah, apa boleh buat, apa yang akan terjadi – terjadilah.

Terdengar makian dan umpatan “ Sama perempuan aja takut, …seraaang guobluok ..!!! “

Sekejap mereka gerak saling pandang, pisau dan keris ini makin erat kugenggam.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline