Lihat ke Halaman Asli

Siti Swandari

Penulis lepas

Misteri Rumah Dinas Angker

Diperbarui: 22 April 2016   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: evibong.blogspot.com"][/caption]

*   Tantangan FC – nulis novel  * 100 hari 50.000 kata *

*    Siti Swandari  no. 16

 

 Bab. XVII.  Dendam  Yang Tumpas.

 

Karena ada undangan dari Sumadiyo, maka Patih dan isterinya berencana akan ke Surabaya.

Mereka akan diperkenalkan dengan keluarga dari teman-teman Sumadiyo  di sekolah Kedokteran. Keluarga Ratna juga akan datang dan ingin berkenalan dengan mereka.

“Berapa hari ya kita diSurabaya, aku akan minta ijin pada Bapak Bupati untuk cuti.” Kata Patih  pada isterinya.

“Mungkin dua minggu cukup, kita juga akan sedikit memperbaiki rumah yang ditempati Sumadiyo selama dia sekolah, menurut eyang ada beberapa yang mulai rusak dan bocor .”

“Iya, kita sudah lama tidak sowan eyang, rasanya kita butuh petuah dan nasihat beliau.” Kata suaminya termenung.

Yang dimaksud eyang adalah guru dari isterinya, seorang nenek yang amat sabar , pendekar arif bijaksana dan punya pandangan yang amat jauh tentang kehidupan. Beliau yang menunggui Sumadiyo di Surabaya.

“Aku juga ingin bertemu dengan Ratna dan orangtuanya – konon mereka keluarga baik-baik. Sumadiyo juga anak baik, berbeda dengan Jatmiko,…”

Tiba-tiba mereka berdua saling berpandangan, lalu Jatmiko bagaimana ?

“Dia akan seperti kuda lepas dari pingitan, bisa lepas kendali jika kita berdua pergi agak lama dari sini.” Isterinya mengangguk.

“Ini saja beberapa hari Jatmiko  tidak pulang, dia katanya tidur di peternakan,.. aku khawatir,…” katanya tersendat, suaminya memandangnya.

“Katanya tuan Jansen sedang pergi ke Batavia, urusan pekerjaan,…” imbuh suaminya.

“Jangan-jangan dia tidak sedang di Batavia, tetapi menyelidiki kelakuan isterinya.” Mereka saling berpandangan lagi.

“Saya dengar si nyonya sering juga tidur di peternakan kita,  bersama Jatmiko,…” dilihat isterinya mengambil baju di almari, baju khusus untuk menunggang kuda.

“Engkau mau kemana adinda,… ini sudah malam.” tanya suaminya

“Saya ingin memperingatkan Jatmiko dan Elsye. Mereka sudah cukup dewasa,  harusnya mengerti sopan-satun. Jangan terjang sana-sini, seenaknya sendiri, semua ada aturannya, ada batasannya, …” isterinya segera menyembah minta ijin dan keluar dari kamar.

Dia menarik nafas mengerti, tidak mungkin dia mencegah kemauan  isterinya.

Dan dimalam itu, ada seekor kuda perkasa besar yang keluar dari kepatihan, pengunggangnya kelihatan amat piawai mengendalikan kudanya, dia langsung  melesat menuju kepeternakan kepatihan diluar kota.

Agak jauh dari peternakan, dia agak memperlambat kudanya, matanya yang masih awas dan tajam melihat ada segerombolan orang dan sebuah mobil.

Mereka bersembunyi menyelinap seolah tidak ingin diketahui oleh yang tidak berkepentingan.

Dia mengenal mobil itu sebagai mobilnya tuan Jansen, terlihat belanda itu ada diantara mereka, beberapa kuda tampak disekitar mobil itu.

Dia sengaja menghardik kudanya, seolah memberitahu kalau dia ada di situ juga, dan mengetahui kehadiran mereka.

Dia terus melecut kudanya dan memasuki peternakan, empat  orang penjaga segera mengenalinya, karena dialah pemilik dari peternakan itu.

Dia meloncat turun, dan langsung menuju kearah bangunan yang bagus, rumah tempat peristirahan bagi keluarga kepatihan.

Keadaan disekitar sepi, tiga penjaga segera  menghampirinya dan menyembah.

Dia menutup bibirnya dengan jari dan menyuruh semua minggir, menyisih.

Tanpa suara dia terus masuk dan terhenti di depan sebuah kamar, dia tertunduk, ada terdengar gelitik- gelitik rintih  tawa manja didalam.

Dia menggigit bibirnya,  menata nafasnya dan dengan sekali sentak pintu itu terbuka, meskipun dikunci dari dalam.

Dia melihat pemandangan yang memilukan, dia tertunduk,  banyak perhiasan dan aneka permata  bertebaran diatas ranjang, bercampur dengan baju serta  gaun yang berserakan disitu.

Keduanya terlonjak kaget dan  “Pakai baju kalian,…” suaranya  terdengar bergetar.

“Apa-apaan ini nyonya Patih, tidak tahu aturan, seenaknya mengganggu orang ?” terdengar suara Elsye meradang, dia bingung membetulkan letak bajunya, Jatmiko juga merah padam mukanya.

Dia memandang keduanya, dagunya diangkat dan berkata :

“Peternakan ini milik saya, kalian kesini tanpa ijin saya, itu lebih dari tidak tahu aturan,…” dia berkata dengan dingin,  dia menggenggam tangannya, menahan ledakan amarah.

“Kamu betul kurang ajar, kamu orang tidak tahu siapa aku heh, … kamu minta dihajar ya, dasar inlander goblok  !!!”  Elsye beranjak sambil mengumpat dalam bahasa leluhurnya dan hendak memukul ibu Jatmiko.

Dan tangan yang sedang berayun itu dipegang,  suatu sentakan terjadi, ada jeritan dan suatu dorongan dari tangan satunya  membentur punggung Elsye, terdengar jeritan lagi kemudian suatu bantingan terjadi.

Elsye terhenyak, hentak  kemudian terpelanting dan sungkur menabrak tempat tidur besar itu. Segera Jatmiko merangkul Elsye, ada darah keluar dari pelipis yang cantik itu, dia membelainya dengan lembut, mendekapnya.

Tiba-tiba dia membalik, memandang ibunya, dia meradang, menatap ibunya dengan garang, mengumpat.

Jatmiko segera bangun dan menabrak ibunya dengan tendangang yang membabi buta.

Dengan perlahan pintu itu segera ditutup, menghindar dan Jatmiko menabrak daun pintu tebal yang  terbuat dari kayu jati itu.

 Kakinya beradu dengan keras pada  pintu itu, dia terjengkang, kapar.

Dia bangkit terhuyung, hendak memukul ibunya, dan suatu dorongan tangan dari ibunya membuat dia tertenggak, memutar dan menabrak tempat tidur.

Jatmiko mengerang sambil memegang kepalanya, tidak bisa bangkit lagi.

“Dengar kalian, kelakuan ini  akan membuat kalian dalam bahaya besar. Ingat itu Jatmiko, ingat itu Elsye Jansen.  !!! “ kata ibunya.

Sejenak dia memandang keduanya , menghela nafas dalam dan tertunduk.

Segera dia meninggalkan kamar itu dan keluar, dia memanggil beberapa penjaga peternakam, membisikkan sesuatu .

Terdengar  kentongan dibunyikan, dan terlihat beberapa orang berlarian sambil membawa keris dan pedang, dia memberi  beberapa petunjuk.

Dan para penjaga  segera menyebar kesetiap sudut peternakan itu, untuk menjaga setiap kemungkinan.

Dipandangnya lagi sekilas peternakan itu, memandang kedalam rumah, dia menghela nafas , kemudian menepuk dan membelai leher kudanya.

Dengan sekali loncat dia sudah dipunggung dan menghardik kudanya.

 Kuda besar itu melaju dikegelapan malam,  dan disatu persimpangan dia berhenti sejenak.

Dia hendak memotong jalan, lewat bukit yang cukup terjal.

Disuatu sudut yang gelap, dia bisa melihat jalan dibawah, dia mengintai. Dilihatnya mobil itu melaju, di belakang ada derap kuda menyusul, dia memperhatikan.

Dia melihat dan mengenal kuda-kuda itu, beberapa  kuda kabupaten dan ada kuda kelurahan Subur Lestari, dia tahu, karena semua kuda itu berasal dari peternakannya. Mereka menderap dengan cepat, penunggangnya sebentar-sebentar  menoleh kebelakang, seolah takut ada yang mengejar.

Dia segera menuruni bukit  dan memacu kudanya, melesat dan memasuki kepatihan.

“Kanda belum tidur ?” tanyanya pada suaminya ketika dilihatnya sang suami sedang duduk dikursi kamar mereka, suaminya mengangguk.

Dan dia menceriterakan semua yang terjadi di peternakannya. Suaminya menyimak semuanya dan tertegun, menghela nafas.

Kemudian mereka juga mulai  berbenah karena besok akan berangkat ke Surabaya.

Perjalanan mulus saja tanpa rintangan sedikitpun.

Begitu sampai di Surabaya, langsung mereka menghadap eyang Melati, sang bijak.

 Banyak petuah dan petunjuk untuk menentramkan hati mereka yang sedang kalut dan gundah.

Tetapi tidak terdengar suatu berita apapun dari kepatihan, mereka makin gelisah.

Dia memang  sudah berpesan jika ada suatu kejadian, Wiryo harus segera ke Surabaya.

Dan pagi ini mereka dipanggil oleh eyang Melati :

“Dengarlah kalian berdua, ada berita mengejutkan akan tiba beberapa saat lagi, ,…”

“Jatmiko,…” dia langsung berkata, eyang mengangguk dan menghela nafas.

“Kalian harus bisa menerimanya dengan ihlas. Anak-anak sudah dididik dengan baik, tetapi mereka membawa nasipnya masing-masing,…”

“Sari, dengarlah,… sebaiknya engkau tetap disini, biar suamimu yang mengurusi segalanya disana. “dia makin tunduk, ada airmata yang jatuh luluh menyayat hatinya.

“Eyang mengerti sifatmu, engkau pasti marah, dan akan membalas dendam atas segala perlakuan mereka. …” eyang memandang keluar, lewat jendela ditatapnya awan yang bergulung, kemudian menarik nafas dalam.

“Dan itu pasti tidak baik. Akan terjadi saling balas dendam yang tiada berkesudahan nantinya, engkau harus bisa mengekang dirimu Sari. Sebaiknya engkau tidak usah datang di kepatihan sekarang,”

Mereka menyembah eyang Melati dan kemudian masuk kedalam kamar mereka,  saling berpelukan.

Dan air mata itu tumpah membasahi dada suaminya, dada yang sudah mulai bergelora, dan air mata sang suami itu juga mulai basah.

Kemudian mereka duduk diatas ranjang, menata nafas dan gejolak hati masing-masing tanpa berkata, terdiam.hening.

Ada ketukan dipintu dan Sumadiyo masuk dengan gesa, dia juga merangkul kedua orangtuanya dan ikut menangis bersama.

Sumadiyo memberitahukan ada Wiryo yang datang dan memberitahukan musibah yang menimpa Jatmiko.

Malam ini juga sang Patih akan kembali dan isterinya tetap tinggal di Surabaya didampingi  Sumadiyo dan eyang Melati.

Berhari Sekar Sari terdiam, sang ibunda ini  hatinya terluka, tetapi dia harus meredam gejolak itu, eyang Melati memberi kekuatan untuk bertahan dan menentramkan hatinya.

Meskipun setiap minggu Patih datang ke Surabaya, tetapi mereka tidak pernah membicarakan kematian Jatmiko yang mengerikan.

Mereka saling menahan diri dan berusaha meredam dendam yang terus berkobar  dan membara dihati mereka.

Malam ini bulan bersinar redup, ada awan bergulung perlahan yang menutupi sinarnya, imbas sinarnya menimbulkan bayangan aneh,  cahaya mistis menyeramkan sampai juga dipelataran yang senyap itu..

Dan disuatu sudut jalan dikepatihan, keadaan amat sepi….

Tetapi ada langkah yang berjalan mantap menuju rumah Karyo, si penjaga malam rumah tuan Jansen. Ada ketukan, Karyo menyiapkan keris  dibalik bajunya, dibuka perlahan pintu depan, yang datang ternyata Wiryo, kakaknya.

Mereka saling berpandangan sejenak, Karyo melihat kakaknya menyisipkan kan keris di ikat pinggang  depan. Untuk orang Jawa itu pertanda suatu tantangan, Karyo menelan ludahnya.

“Karyo, kita ini bersaudara,…” Wiryo berkata

“Iya kakang, …” jawab Karyo.

“Tetapi majikan kita berbeda, engkau ikut Belanda itu dan aku di kepatihan,..”

Dia memandang adiknya yang terus menunduk

“Engkau pasti ingat, siapa yang menolong keluarga kita yang melarat dan selalu tersiksa dari hinaan  orang bukan ?” Karyo mengangguk

“Hanya Puteri Sekar Sari, isteri Patih dan ibunda Raden Jatmiko, yang peduli. Semua keluarga kita pasti mengerti dan ingat tentang itu.” Katanya mantap.

“Beliau pendekar hebat Karyo, berbudi dan pasti mengerti siapa yang membunuh putranya, menganiaya putranya  dengan tanpa berperi kemanusiaan samasekali.” Karyo hanya terdiam

“Kalau mau beliau bisa membabat  kepala kalian semua dengan sekali tebas, termasuk tuan Belandamu yang tolol itu…” kata Wiryo, dipandangnya Karyo yang tetap tunduk.

“Tuan Jansen sedang ke Batavia, mengantarkan isterinya yang sedang sakit, sakit gila.” Kata Karyo, Wiryo hanya mengangguk.

Karyo melirik kakaknya, tetapi mata Wiryo  nanap tak berkedip memandang keatas, ke rembulan yang bersinar suram.

“Beberapa hari yang lalu, nyonya teriak-teriak ketakutan, karena melihat ada kepala tanpa badan tiba-tiba muncul dan menakut-nakuti. Dia terus teriak-teriak, menyebut nama Raden Jatmiko, sudah dibawa kedokter, tidak bisa, jadi harus dibawa ke Batavia atau mungkin pulang kenegara Belanda.”

Karyo termenung, Wiryo meliriknya dan memandangnya :

“Aku kesini akan membertahu engkau Karyo. Karena puteri Sekar Sari tidak mau dan menahan diri untuk membalas dendam pada mereka yang telah menganiaya putranya, demikian juga dengan ndara Patih, ayahandanya Raden Jatmiko. Maka orang yang akan membalas dendam itu adalah aku,…ya, aku - Wiryo yang akan membalaskan dendam itu  !!!.”

Lebih dalam dia menarap kearah mata Karyo

“Dengar – siapa saja yang mengeroyok Raden Jatmiko dengan pengecut, akan berhadapan dengan aku, … akan menerima pembalasan yang setimpal dariku..”

“Kamu boleh memberitahukan pada siapa saja, aku tidak takut ditangkap atau dikeroyok oleh cecunguk yang beraninya hanya  main keroyokan,…”

“… dan kalau engkau ikut menghalangi aku, engkaupun harus berhadapan dengan aku, …ingat itu !”

Wiryo meninggalkan rumah Karyo tanpa menoleh lagi, Karyo lama termenung.

Badannya bergetar, kakinya gemetaran, sehingga dia terduduk dengan lemas.

Dia mengerti benar, siapa kakaknya itu, kakaknya itu murid dari puteri Sekar Sari, pendekar mumpuni, yang berbudi luhur, isteri dari sang patih, ibunda Raden Jatmiko.

 Dan hari terus berjalan, purnama juga berganti,…

Terdengar kematian lurah Subur Lestari yang mengerikan, kepalanya terpenggal dan ditinggal begitu saja.

Kemudian disusul dengan kematian adiknya yang jadi pasukan keamanan kabupaten  juga mengejutkan, dan ada beberapa orang yang lain, yang konon ikut mengeroyok Jatmiko waktu itu.

Semua mati mengerikan, dengan kepala terpenggal seperti Raden Jatmiko.

Santer tersiar desas-desus, itu merupakan arwah Jatmiko yang mau membalas dendam pada yang telah menganiaya dirinya..

Banyak yang ketakutan bahkan ada yang sampai melarikan diri keluar dari Kabupaten itu.

Penjagaan diperketat, tetapi tidak ada yang mengerti siapa pelakunya. Hanya Karyo yang mengerti, tetapi dia diam, tutup mulut, diam seribu bahasa.

Dan itulah cerita kepala tanpa badan, si- glundung pecingis - yang ada dirumah dinas ayahku..

Dia selalu tampak mengganggu dan menggoda siapa saja di rumah besar itu. Ternyata  ceritanya cukup dramatis,  menyeramkan serta  membuah pedih dihati.

 

***** *****

 

Kita semua terdiam, pakde Gito juga segera minum kopinya lagi, melihat jam dinding.

“Udah – udah, … hampir jam satu lho ini, besok disambung cerita lain lagi.”

“Lho pakde, lha cerita belanda yang membawa kepalanya, naik kuda putih, manjat pohon kedondong itu gimana pakde ?” tanyaku, beliau tertawa.

“Udah besok saja disambung lagi, dalangnya udah ngantuk,…” kata beliau dan beliau segera merebahkan diri lagi.

Tiba-tiba beliau bangun lagi :  “Aku besok pengin gado-gado dan es dawet, bikinkan ya ?” beliau tertawa terus rebah lagi dan memejamkan matanya.

“Besok ceitanya ya ada  cinta-cintaanya pakde ?” tanyaku lagi sambil geli.

Kulihat beliau mengangguk sambil mengangkat jempolnya.

Kita semua ikut tertawa geli.

Kemudian segera kita menata bantal  masing-masing dan merebahkan diri pula.

Wah, seperti apa ya ceritera besok, pasti lebih mendebarkan dan mendayu , aku berkedip-kedip.

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline