[caption id="" align="aligncenter" width="298" caption="Jabat Tangan / Kompasiana (Kompas.com, Shutterstock)"][/caption]
Saya menulis ini karena care dengan Kompasiana dan tulisan ini berdasarkan sudut padang pribadi sebagai salah satu warganya. Saya sudah tiga tahun lebih jadi warga Kompasiana, dan selalu merasa senang dan nyaman saja, karena kita semua terikat oleh hobby yang sama yaitu menulis.
Mempunyai sahabat dari berbagai lapisan masyarakat yang beraneka ragam, masyarakat yang heterogen dengan latar belakang budaya dan pendididikannya, pasti asyik. Tetapi dengan daya kritis budaya dan pendidikan yang berbeda itu, pastilah bisa terjadi kemungkinan timbulnya distorsi apresiasi dan asumsi. Meskipun batasan budaya dan latar pendididikan bisa dianggap sebagai kekayaan nuansa, tetapi bisa juga sebagai kendala yang memasung dan menghalangi kreatifitas untuk bersosialisasi , dalam tulisan meskipun hanya di dunia maya. Mungkin semacam cekal atau warning dalam bentuk lain, karena kemudian ukurannya bukan hanya kelazimnan masyarakat yang sudah dikenal, melainkan juga sentiment kelompok yang bisa tiba-tiba eksplosit. Saya ingin mengambil beberapa point yang bisa saya tangkap dari gonjang ganjing di Kompasiana ini. Sudut Pandang dan teori Kebenaran Sebenarnya di Kompasiana sudah ada beberapa kali saling silang, salah pengertian atau saling beda pendapat dan sudut pandang, dengan akibat yang berkepanjangan dan meluber kemana-mana. Dan saya tidak ingat karena juga tidak tertarik jika suatu masalah/topic berbenturan. Kemudian timbul pro kontra, keluar dari masalah, sampai saling serang pribadi masing-masing yang berkepanjangan dan tiada guna., menyedihkan. Beda pendapat boleh, karena dengan beda pendapat kita bisa mengerti pribadi seseorang, lebih mengenal warak seseorang. Dan yang dipermasalahkan adalah saling mencari kebenaran dari apa yang dipersoalkan. Didalam filsafat, manusia memang adalah merupakan mahluk berpikir yang mencari kebenaran.Dan untuk mencari dalil-dalil tentang kebenaran, hal itu sudah lama dilakukan, terus terjadi sejak jaman dahulu sampai sekarang. Jadi sejak jaman filosof sampai jaman professor sekarang terus mempersoalkan kebenaran dan tidak pernah bisa menemukan teori yang pas dan tepat untuk di terapkan, Ada beberapa teori tentang kebenaran, tetapi masih belum ada yang pas, para cerdik pandai masih mencari teori yang bisa disepakati semua. Untuk mendekati kebenaran, kita bisa memakai cara sudut pandang (point of view) dan pangkal tolak (starting point). Penjelasannya adalah seperti jika kita memotret sebuh benda tertentu dari arah yang berbeda (sudut pandang) dan dengan alat yang berbeda (starting point). Seekor gajah yang dipotret dari depan pasti berbeda jika dipotret dari samping/belakang. Demikian juga jika di potret dengan hape murahan pasti berbeda juga jika di potret dengan kamera mahal. Pasti akan dihasilkan berbagai macam-macam jenis gambar dengan berbagai posisi yang berlainan dan dengan kwalitas gambar yang berbeda pula. Mereka memang tidak salah, tetapi tidak seluruh bagiannya benar jika harus menggambarkan dan men definisikan seekor gajah. Ini juga bisa diibaratkan jika kita membicarakan atau mempermasalahkan sesuatu. Mereka masing akan mempertahankan pendapat sendiri-sendiri, sesuai dengan “potret” yang dihasilkan. Sesuai dengan sudut pandangnya atau pangkal tolaknya masing-masing tentu saja. Pangkal tolak itu seperti kwalitas dari diri pribadi masing-masing. Sebenarnya memang ada cara untuk mendekati suatu kebenaran, yaitu merangkum semua jalan pemikiran dalam satu kesatuan, agar pemikiran lebih mendekati kenyataan secara menyeluruh . Hal ini seperti halnya dengan riset, harus dipakai metode observasi, interview, questionnaire, dokomentasi untuk mendapatkan hasil dan data lengkap. Tapi itu pasti membutuhkan biaya yang banyak dan waktu yang lama dan ribet, jadi sebaiknya kita berdamai dengan legowo saja…. Gitu aja kok repot … hehehe Pornografi dan Kloning Sebenarnya saya juga tidak membaca aneka tulisan yang di permasalakan, tapi katanya secara garis besar tentang pornografi dan kloningan-kah? Menurut saya, Kompasiana yang sebagai media umum untuk semua umur dengan latar belakang budaya dan pendidikan yang beraneka ragam, sebaiknya kita mengambil saja jalan tengah. Kalau ada yang ingin menulis tentang sex dan segala bentuk perilakunya, sebaiknya tidak terlalu vulgar, tetapi bisa dipilih kata atau kalimat yang tidak menjurus ke pornografi. Definisi pornografi : Ketelanjangan, kegiatan sex yang seronok, rangsangan sex, sadisme, kelainan sex, horror, dan lain-lain yang cenderung menarik perhatian orang . Dan hal-hal yang dapat dianggap menimbulkan rasa malu, memuakkan, melanggar rasa susila, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat dan nyata-nyata tidak mengandung nilai manfaat apapun bagi masyarakat ( Delik-delik Pers di Indonesia : Dr.A.Hamzah SH, I Wayan Suandra SH dan BA Manalu SH ). Pasti ada perkecualiannya, yaitu jika hal itu untuk kepentingan masyarakat, juga untuk ilmu Pengetahuan. Kloningan atau nama Samaran : Beberapa waktu yang lalu pernah ditulis mas Isyet dengan panjang lebar. Kloning juga nama samaran banyak digunakan oleh penulis, novelis yang menggunakan untuk tulisan atau buku-bukunya. Mungkin kadang bosan menggunakan nama pribadi, jadi pengin berganti “pribadi” dengan yang lain. Sepertinya biasa saja dan fine-fine saja, asalkan tidak digunakan untuk hal-jal yang kurang baik. Harapan saya : Jika toh diantara kita ada beda pendapat, memang sebaiknya dibicarakan bersama dengan bijak dalam suasana persahabatan. Tidak usah mencari siapa salah siapa benar, karena nanti akan menjadi berpanjang lebar seperti yang saya tulis diatas karena ada sudut pandang dan pangkal tolak tiap pribadi. Solusi dicarikan kesepakatan demi kerukunan kita bersama dengan saling menghargai dan menghormati privasi masing-masing. Sekali lagi, saya selalu membayangkan Kompasiana sebagai rumah sehat bagi kami semua. Di halaman rumah sehat bersama kita itu , ada taman bunga indah yang penuh dengan aneka bunga nan cantik dan beraneka warna serta elok semerbak. Sobat, lihatlah bunga-bunga itu, selalu bergembira, bergairah, penuh semangat dengan canda riang dibawah sapaan sinar matahari dan belaian hujan rintik yang lembut. Mereka tidak pernah berselisih dan berseteru. Kenapa ?, karena mereka tidak pernah peduli, bertanya ataupun mempermasalahkan tentang warna, nama, jenis, bentuk dan asal-usulnya masing-masing. Mereka menikmati kehidupan pribadinya dengan bebas, sesuai dengan jalan hidup yang dipilihnya. Selamat nangkring dan ngobrolin Kompasiana, semoga mendapat hasil yang memuskan bagi warga Kompasiana semuanya. Salam persahabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H