Lihat ke Halaman Asli

Siti Suhartini

Undergraduated Biology Student

Mengevaluasi Rantai Makanan Tuna Sirip Kuning di Pelagic Timur Samudra Pasifik dan Bagian Barat Samudera Hindia

Diperbarui: 26 Desember 2021   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengevaluasi dampak iklim dan penangkapan ikan pada ekosistem laut memberikan pemahaman yang lebih baik terkait dengan rantai makanan di ekosistem pelagik (Essington dkk. 2002: 724). Struktur rantai makanan dan interaksi antar komponen memiliki peran penting dalam menentukan dinamika, produktivitas, dan stabilitas suatu ekosistem (Olson dkk. 2010: 125). Hal tersebut membuat perikanan komersial dengan selektif memanen predator puncak karena dapat berdampak pada ekosistem pelagik. Konsekuensi ekologis potensial dari penangkapan ikan saat ini digunakan dalam penangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) (Esisington dkk. 2002: 724). Studi perbandingan kebiasaan makan predator puncak dan implikasinya terhadap partisipasi sumber daya serta analisis lingkungan dapat memberikan elemen dasar untuk pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan tuna (Essington dkk. 2002: 725; Potier 2007: 61).

Samudera pasifik tropis dan subtropis merupakan tempat utama untuk perikanan tuna dan ikan ekosistem pelagik lainnya. Adanya pemahaman terkait dengan Eastern Tropical Pacific (ETP) masih sangat terbatas di sebagian besar perikanan komersial dan spesies sensitif yang berada di tingkat trofik teratas. Selain itu, juga adanya pemahaman terbatas terkait dengan biomassa, produktivitas, dan trofodinamik organisme yang bertanggung jawab dalam mentransfer produksi sekunder melalui tingkat trofik menengah di ekosistem pelagik. Dengan demikian, analisis isotop stabil dapat berguna untuk menggambarkan komposisi jaring makanan di ekosistem pelagik (Olson dkk. 2010: 125).

Berdasarkan penelitian Olson dkk. (2005) diketahui bahwa spesies omnivora dominan yang cukup untuk dianalisis stabil isotopnya yaitu Subeucalanus subcrassus dan Euchaera indica. Hal tersebut didukung dengan perhitungan GAM dengan nilai δ15N yang menunjukkan gradien yang kuat dari Selatan ke Utara dan puncak nilai yang lebih tinggi pada bidang Utara-Barat Laut yang mengarah dari ujung Selatan distribusi 102 - 103 °W menuju Baja California (Gambar 1). Pada gambar tersebut ini signifikan dan menjelaskan sekitar 71% dari penyimpangan tersebut. Pada gambar 2a diketahui bahwa Copepoda dan ikan tuna sirip kuning menunjukkan nilai δ15N tertinggi di Utara. Plot nilai δ15N ikan sirip kuning dan perkiraan GAM dari Copepoda omnivora di setiap sampel menunjukkan variabilitas yang cukup besar dan adanya korelasi keseluruhan yang baik. 

screenshot-2413-61c7f09f06310e5f2d0a6af2.png

screenshot-2415-61c7f0ab17e4ac4290204232.png

Pola skala luas nilai isotop nitrogen dalam omnivora Copepoda (Gambar 1.) menunjukkan konsistensi di wilayah yang luas dari ETP. Gradien dari Selatan-Utara menunjukkan peningkatan dari komponen rantai makanan yang diinduksi dari spasial di kolom nitrat yang terlarut, sehingga mendukung pertumbuhan di dasar rantai makanan. Selain itu, data isotop untuk gambar 3 menunjukkan konsistensi yang luas antara komponen-komponen dalam rantai makanan yang dikategorikan oleh beberapa tingkat trofik jaring predator tingkat atas (Olson dkk. 2010: 132 - 133). Komposisi stabil isotop suatu organisme ditentukan oleh skala waktu dan integrasi temporal. Dengan demikian, adanya variabilitas fisik musiman dan antar tahunan dapat memengaruhi komponen yang berbeda-beda dalam rantai makanan pada skala waktu yang berbeda (Olson dkk. 2010: 134).

Perikanan tuna sirip kuning di timur Samudera Pasifik menghasilkan pengurangan sebesar 67% dalam tingkat pemangsaan predator puncak. Hal tersebut menunjukkan bahwa efek tersebut sangat sensitif terhadap metode penangkapan ikan yang digunakan untuk memanen ikan tersebut (Essington dkk. 2002: 730). Jenis alat tangkap dan metode memancing tidak hanya berpengaruh terhadap besarnya predasi pada ikan tuna sirip kuning, tetapi juga predasi di seluruh kelompok makan. Hal tersebut dikarenakan komposisi makan akan bertambah seiring bertambahnya usia. Diketahui bahwa pada gambar 7, organisme yang mengambang dapat mengurangi tingkat predasi yang cukup merata diantara kelompok makan karena kelompok tersebut dapat menghilangkan individu muda sebelum mereka menjalani ontogeni trofik yang substantial. Selain itu, pada kelompok lumba-lumba diketahui bahwa lebih kuat memengaruhi kelompok makan ontogenetik akhir seperti frigate tunas dan rudderfish. Akibatnya, objek yang mengambang dan kelompok lumba-lumba serupa untuk ontogenetik awal, tetapi bervariasi hampir dua kali lipat untuk ontogenetik akhir (Essington dkk. 2002: 730 - 731). 

screenshot-2417-61c7f1159bdc4009405e2ff2.png

Potier dkk. (2007) melakukan perbandingan komposisi makan lancetfish, tuna sirip kuning, dan ikan todak di India Barat Laut. Berdasarkan penelitian, tuna sirip kuning memiliki makanan yang paling seimbang dan didominasi oleh kelompok Crustacea. Sedangkan lancetfish memiliki hal yang sama dengan ikan tuna sirip kuning dan ikan todak memakan spesies yang lebih besar daripada ikan tuna sirip kuning. Selain itu, diantara mangsa ikan tuna sirip kuning, bagian mesopelagik (66%) lebih besar dari epipelagik (33%). Kedua predator tersebut menelan 90% mangsa ikan epipelagik sedangkan ikan todak, membentuk 9% dari total mangsa ikan yang didominasi oleh kelompok mesopelagic (Cephalopoda). Hal tersebut dikarenakan ikan todak memang suka melakukan migrasi besar secara vertikal. Dengan demikian, ikan tuna sirip kuning dan lancetfish tersebut memakan hewan yang tersedia di lapisan kolom air yang lebih dangkal sedangkan ikan todak memakan hewan dari kelompok Cephalopoda (Potier dkk. 2007: 69 - 71). 

whatsapp-image-2021-12-26-at-11-40-45-61c7f34c17e4ac4083182252.jpeg

DAFTAR ACUAN

Essington, T.E., D.E. Schindle., R.J. Olson., J.F. Kitchell., C. Boggs & E. Hilborn. 2002. ALTERNATIVE FISHERIES AND THE PREDATION RATE OF YELLOWFIN TUNA IN THE EASTERN PACIFIC OCEAN. Ecological Applications 12(3): 724 - 734.

Potier, M., F. Marsac., Y. Cherel., V. Lucas., R. Sabatie., O. Maury & F. Menard. 2007. Forage fauna in the diet of three large pelagic fishes (lancetfish, swordfish and yellowfin tuna) in the western equatorial Indian Ocean. Fisheries Research 83: 60 - 72.

Olson, R.J., B.N. Popp., B.S. Graham., G.A. López-Ibarra., F. Galván-Magaña., C.E. Lennert-Cody., N. Noemi Bocanegra-Castillo., N.J. Wallsgrove., E. GIer., V. Noemi Bocanegra-Castillo., L.T. Ballance & B. Fry. 2010. Food-web inferences of stable isotope spatial patterns in copepods and yellowfin tuna in the pelagic eastern Pacific Ocean. Progress in Oceanography 86: 124 - 138.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline