Pandemi Covid-19 yang secara global dikonfirmasi berawal pada November 2019 lalu melalui pasar hewan di kota Wuhan telah menyebabkan banyak pergolakan pada kehidupan manusia dalam segala aspek. Pandemi yang telah menginfeksi setidaknya 173 juta manusia dan merenggut nyawa sebanyak 3,73 juta jiwa di seluruh dunia berdasarkan data statistik hari Selasa, 8 Juni 2021 memaksa dunia untuk mundur dari segala hiruk-pikuk rutinitas dan kebiasaan normal yang dilakukan sebelum pandemi dan memulai segala hal dengan mematuhi protokol kesehatan anjuran World Health Organization (WHO) serta menjalankan perintah social distancing.
Social distancing yang dimaksudkan disini adalah perintah untuk menjaga jarak antara satu manusia dengan manusia lainnya dengan tujuan untuk meminimalisir kemungkinan penularan virus Covid-19 yang saat ini dikonfirmasi telah bermutasi menjadi varian yang lebih ganas dan mudah menular daripada varian yang sebelumnya. Perintah social distancing ini pada awalnya terkesan memukul telak segala macam industri dan menyebabkan pelaku ekonomi harus memutar otak dalam memikirkan langkah yang tepat untuk tetap bertahan.
Salah satu bidang yang terkena dampak luar biasa akibat adanya pandemi ini dan perintah untuk melakukan segala aktivitas dari rumah serta anjuran untuk social distancing adalah ekonomi. Ekonomi dunia mengalami fase surut yang luar biasa, nilai kurs mata uang tiap negara mendadak anjlok. Hal ini memaksa para pelaku industri memikirkan inovasi terbaru yang sejalan dengan protokol kesehatan yang dianjurkan negara dan WHO agar usaha mereka tetap berjalan. Maka bermula dari sinilah kegiatan berniaga dan berbelanja secara online mulai marak dan membangkitkan gairah pasar dan sedikit demi sedikit memulihkan ekonomi dunia.
Para pelaku usaha pada masa pandemi ini dipaksa untuk melek teknologi, dan mau tak mau harus bisa mengikuti arah dan laju pasar yang dominan memanfaatkan teknologi atau media sosial dalam menjalankan bisnisnya. Teknologi dan media sosial, dalam hal ini tidak bisa lepas dan berjalan beriringan dalam segala aspek kehidupan, termasuk salah satunya aspek ekonomi. Salah satu contoh pemanfaatannya adalah melalui sarana e-Commerce yang mulai digemari segala kalangan. E-Commerce ini ibarat wabah, mulai menjangkiti segala kalangan dan ikut bermutasi dalam segala kondisi.
Kalau mengambil contoh kasus di Indonesia, e-Commerce seperti Shopee, Tokopedia, Lazada Blibli dan Bukalapak gencar dalam menarik atensi dan minat konsumen agar 'merogoh koceknya' untuk berbelanja di situs mereka. Segala macam cara dilakukan, mulai dari event Hari Belanja Nasional sampai menggelontorkan berbagai voucher gratis ongkir atau cashback sekian persen agar konsumen tertarik dengan adanya voucher yang disediakan oleh e-Commerce tersebut.
One case solved. Selanjutnya, apakah ada hal yang menarik dan unik terkait perkembangan e-Commerce pada masa pandemi ini? Jawabannya, tentu saja ada. Kalau tadi kita berbicara pada wilayah general tentang pemanfaatan teknologi pada bidang ekonomi melalui e-Commerce yang sedari awal sudah ada bahkan sebelum pandemi bermulai.
Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana para pelaku usaha kecil yang tidak menggunakan salah satu e-Commerce di atas dalam menjalankan bisnisnya, lalu bagaimana mereka bersaing dengan gerombolan pelaku usaha lainnya? Jawabannya adalah mereka membentuk pasar dan melayani pangsa pasar mereka melalui media sosial.
Untuk beberapa orang, memulai usaha melalui e-Commerce seperti Shopee dan kerabatnya adalah hal yang sulit untuk dilakukan karena persyaratannya yang dinilai ribet.
Maka, sebagian pelaku usaha mencari jalan singkat dengan menjajakan bisnisnya melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram. Menjalankan bisnis melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram dinilai mampu menarik minat dan atensi, karena sebagian waktu manusia pada masa pandemi sekarang ini dihabiskan dengan berselancar di antara media sosial tersebut. Jadi, secara tidak langsung dengan adanya aktivitas tersebut, maka market terbentuk dengan sendirinya.
Terlebih lagi di masa pandemi ini masyarakat menjadi sangat konsumtif dan 'lapar mata' ketika melihat sesuatu yang baru. Maka, untuk memuaskan sifat konsumtif masyarakat inilah para pelaku usaha mulai menciptakan ide bisnis yang easy to do dan jangkauannya luas. Market yang terbentuk melalui media sosial ini biasanya nemiliki cakupan yang lebih kecil namun lebih mudah dijalankan, terlebih lagi untuk para pelaku usaha yang tidak terlalu melek teknologi e-Commerce terbaru.
Contoh target market yang terbentuk melalui media sosial ini biasanya para ibu-ibu dan bapak-bapak, dan jenisnya juga sederhana seperti makanan home made dan berbagai perlengkapan rumah tangga. Dikarenakan cakupan market ini terbilang sempit dan tebatas hanya pada satu wilayah, maka hal yang terbilang unik adalah layanan delivery yang ditawarkan para pelaku usaha dalam menggaet konsumen. Terlebih lagi anjuran social distancing dan work from home yang digalakkan pemerintah membuat market ini semakin menjamur dan diminati berbagai kalangan.