Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki misi perdamaian dunia. Hal ini dibuktikan dengan adanya komitmen Indonesia sebagai negara non-blok yang tidak memihak kepada blok timur maupun barat. Selain itu, Indonesia juga mengirim pasukan garuda guna memberikan bantuan kepada negara berkonflik dan menjalankan misi perdamaian tersebut. Namun hal ini tidak dapat berjalan maksimal apabila negara maju berteknologi tinggi yang berkemampuan memproduksi dan memiliki senjata tidak bekerjasama dan terus menjalankan perdagangan senjata secara illegal atau melanggar aturan yang ada.
Arms Trade Treaty merupakan perjanjian internasional tentang perdagangan sejata yang di salahkan pada majelis sidang umum PBB tanggal 2 April tahun 2013, bertempat di New York, Amerika Serikat. ATT ini bertujuan untuk melakukan regulasi dan memberikan batasan perdagangan senjata konvensional secara internasional baik dalam bentuk senjata ringan seperti senapan, tank tempur hingga kapal perang yang bernilai transaksi sebesar 70 miliar.
Perjanjian ini disetujui dan didukung oleh 154 negara dari 193 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Sedangkan Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang tidak setuju dalam perjanjian tersebut. Hal ini dikarenakan Amerika berpendapat bahwa pembentukan instrument internasional bukanlah hal yang tepat dalam menurunkan angka perdagangan gelap senjata konvensional.
Dalam perjanjian perdagangan senjata ini, Indonesia melaksanakan diplomasinya secara aktif, dimulai dari turut serta nya Indonesia dalam penandatangan perjanjian pada Mine Ban Treaty tahun 1997 dan Convention In Cluster Munitions tahun 2018 termasuk Arms Trade Treaty tahun 2013.
Pembahasan kontrol senjata dan diplomasi perlucutan senjata Indonesia dalam konteks Perjanjian Perdagangan Senjata PBB (ATT) dan non-transfer nuklir sangat menarik karena beberapa alasan utama. Pertama, studi ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk mendukung regulasi dan kontrol yang ketat terhadap perdagangan senjata konvensional dan menunjukkan peran aktif Indonesia dalam mempromosikan perdamaian dan keamanan regional dan internasional.
Kedua, menunjukkan kepedulian Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) dan kemanusiaan, serta upayanya untuk mengontrol dan mencegah penyalahgunaan senjata untuk melindungi masyarakat sipil dari dampak buruk konflik bersenjata. Ketiga, sebagai negara maritim, Indonesia memiliki kepentingan strategis untuk memantau dan mengendalikan perdagangan senjata di wilayahnya dan berpartisipasi dalam upaya global untuk memerangi perdagangan senjata ilegal.
Arms Control and Disarmament Diplomacy dipahami sebagai suatu kunci yang menjadi aspek penting hubungan internasional dalam mewujudkan perdamaian, keamanan dan pengurangan senjata nuklir dan konvensional di dunia. Partisipasi Indonesia di PBB Terhadap Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) merupakan keterlibatan Indonesia dalam pengendalian senjata dan diplomasi perdagangan senjata di PBB menunjukkan pentingnya peran negara ini di kancah internasional karena bercita-cita dan bekerja untuk perdamaian dan keamanan dunia.
Upaya Diplomasi Indonesia dalam Arms Trade Treaty
Partisipasi aktif Indonesia dalam sesi tersebut dimulai pada tahun 2006 Majelis Umum PBB ke-61 untuk diskusi pembentukan perjanjian perdagangan senjata konvensional. Di persidangan, Indonesia mengatakan, "Tidak adanya instrumen pengaturan persenjataan biasanya menunjukkan bahwa ada kebutuhan terhadap instrumen yang bersifat multilateral."
Setelah akhir sesi ke-61 Majelis Umum PBB, Majelis Umum 28 mengajukan permintaan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan Pembentukan kelompok ahli pengurus (grup ahli dewan / GGE). Hal ini melibatkan 28 negara termasuk Indonesia terpilih dalam GGE untuk berpartisipasi dalam proses perumusan ATT. Dalam pertemuan, Indonesia mengeluarkan pendapat tentang perjanjian perdagangan senjata mencerminkan penghormatan terhadap hak setiap individu untuk menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan negara lain terhadap kawasan domestiknya.
Pertemuan GGE berakhir pada Oktober 2008, Inggris Raya, Australia, Argentina, Kosta Rika, Finlandia, Kenya, dan Jepang mempresentasikan draf teks baru kepada Komite Pertama Majelis Umum PBB untuk meminta pembahasan lebih lanjut tentang Perjanjian Perdagangan Senjata melalui pembentukan kelompok yang disebut Open Ended Working Group (OEWG). Tujuan dari pertemuan OEWG, yang dimulai pada tahun 2009, adalah untuk memfasilitasi rekomendasi GGE mengenai kelayakan, ruang lingkup, dan sarana untuk menetapkan standar internasional untuk impor, ekspor, dan transfer senjata konvensional.