Mataram - Istirahat setelah usai membersihkan halaman di rumah ibu dengan mencabuti rimbunan rumput yang tumbuh tak beraturan adalah pilihan logis untuk mengisi hari libur. Duduk santai di teras depan, ditemani ibu yang selalu tersenyum teduh plus indahnya pemandangan areal persawahan yang memanjakan mata merupakan rahmat yang tak terkira. Bukan sawah kami, tapi pemandangannya bebas kami nikmati sesuka hati dengan dasar pikir yang berbeda, juga berpotensi membidani lahirnya nalar yang berbeda pula.
Tentu hal itu yang wajar dan lumrah sifatnya, karena setiap diri memiliki karakteristik yang berbeda. Pada perbedaan itu bermuara segala kekuatan dan kelebihan manusia yang sudah diberi tugas sebagai khalifah di muka bumi. Bentuk nyata keagungan dan kebesaran Allah Subhanahu Wata'ala yang tak dapat dibantah.
Tidak lama, ibu beranjak ke dalam rumah dan saya pun larut dengan pikiran sendiri sambil menikmati sapaan mentari pagi yang menghangatkan. Kali ini, dalam diskusi imaginer saya fokus mendengar bisikan dari Nathan Gardels dan Nicolas Berggruen yang melejitkan gagasannya tentang Renovating Democracy: Governing in the Age of Globalization and Digital Capitalism di 2019 lalu.
Mereka menekankan bahwa sudah saatnya kita meninggalkan beragam paradoks dalam pengelolaan pemerintahan, agar masyarakat kita dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sehat. Tidak berjibaku dan disibukkan pada kondisi yang mencerminkan degradasi dalam berbagai aspek pemerintahan, lantas berimbas dan mengusik kenyamanan hidup masyarakat.
Paradoks dalam pemerintahan yang harus menjadi perhatian kita bersama menurut Gardels & Berggruen adalah paradoks demokrasi, renovasi kelembagaan demokrasi dan renovasi praktik demokrasi.
Fokus atensi pada paradoks demokrasi adalah kita tidak boleh lagi membiarkan demokrasi dijebak dan dibajak oleh peer driven network, sehingga demokrasi kita berpotensi berganti kulit menjadi oligarki. Imbasnya, apa yang terjadi ditengah kehidupan kita seolah-olah ditentukan oleh segelintir orang. Kompleksnya dinamika politik dan polemik di tubuh pemerintahan membuat sebagain masyarakat beropini bahwa Indonesia saat ini "kemungkinan besar" sedang berada pada kondisi tersebut. Oleh karena itu, praktik demokrasi di negara ini harus dipelihara sebaik mungkin secara seksama agar dapat menumbuhkan more participation than ever before. Demokrasi dengan kapabilitas tinggi, sehingga dapat mengeliminir setiap fake news, hate speech dan populisme yang dilandasi oleh quasi alternative fact.
Paradoks renovasi kelembagaan demokrasi pun harus diperhatikan dengan cara memperkuat institusionalisasi demokrasi, agar setiap partisipasi yang berproses dalam demokrasi menjadi benar-benar representative. Bersamaan dengan itu, proses pelembagaan demokrasi juga harus dapat memberi garansi bahwa mereka mampu mencegah praktik oligarki, bukan malah patuh pada praktik pemerintahan yang mengarah ke oligarki. Juga harus mampu membangun democratic systems yang intoleran kepada authorianisme, baik dalam bentuk praktik otoritarianisme maupun dalam bentuk authoritarian rule. Dengan begitu, trust masyarakat terhadap lembaga demokrasi dapat terpelihara dengan baik. Karena masyrakat merasa bahwa lembaga demokrasi mampu bersikap dan memposisikan diri sebagaimana mestinya.
Hal yang tidak kalah pentung adalah paradoks renovasi praktik demokrasi. Renovasi merupakan point of equilibrium between creation and destruction, kata Gardels & Berggruen. Praktik kehidupan kita sedapat mungkin mengarah ke renovasi praktik demokrasi secara reguler dan kita tidak boleh bosan melakukan itu dengan cara-cara yang konstruktif. Renovasi itu hakekatnya memperbaiki yang lama, yang sudah mulai menua, bukan merusak tatanan baru yang masih kompatibel dan sangat dibutuhkan masyarakat. Berfungsi memitigasi risiko setiap keputusan yang mengalami pengausan. Termasuk harus beradaptasi dengan positive perpetual disruptions, sehingga dapat melakukan stabilisasi kehidupan masyarakat secara bertahap.
Sebagai bagian dari masyrakat yang hidup di negara bersistem demokrasi, hal yang harus diupayakan bersama adalah memberdayakan partisipasi secara cerdas tanpa harus terjebak kepada populisme. Masyarakat juga harus bisa menghindari dari kecenderungan untuk bersikap solitarist identities yang egois. Sikap yang mengantar diri pada keyakinan atas ego bahwa kehidupan ini milik diri sendiri, dapat dipersepsikan sendiri oleh dirinya sendiri dan berdasarkan kehendak dirinya sendiri. Sikap yang memotivasi seseorang untuk bersikap arogan dan oligarkis, seolah negara merupakan representasi kehendak dirinya sendiri.
Heterogenitas di Indonesia tidak diragukan lagi, itu pula yang membidani lahirnya slogan Bhinneka Tunggal Ika. Heterogenitas ini seharusnya mampu mendidik masyarakat untuk bisa mencegah terjadinya sikap over ego, keyakinan pada setiap orang bahwa yang penting itu adalah dirinya sendiri. Seolah di dunia ini yang penting hanya a singular dimension to existential. Orang merasakan kedigdayaan diri sendiri. Padahal dirinya sedang mengalami a deficit of dignity.