Mataram - Jurakan merupakan satu dari sekian banyak games yang sering dilakukan oleh masyarakat di pulau Lombok. Ketika merayakan hari besar republik ini seperti hari ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus, jurakan nyaris tidak pernah absen. Permainan ini dimainkan oleh masyarakat tua, muda, laki mau pun perempuan (agak jarang). Hadiah yang diterima oleh pemenang tidak tentu, tergantung sangat pada pilihannya ketika sudah sampai puncak jurakan. Karena di puncak itulah semua hadiah ditempatkan. Jadi, pada dasarnya bermain jurakan adalah berlomba mencapai puncak untuk mendapatkan hadiah bagaimana pun caranya, hatta harus menginjak pundak kawan sendiri. Sementara yang berada di posisi bawah, jatahnya hanya mendukung, kesakitan dan menyaksikan orang lain mencapai puncak untuk mendapatkan hadiah. Di daerah lain, permainan ini juga ada dan familiar disebut panjat pinang.
Fenomena panjat pinang adalah representasi konkrit dari sistem politik yang berlaku di negeri yang terkenal dengan tingkat heterogenitas tinggi ini. Agen-agen (partai) politik tak ubahnya penyelenggara jurakan yang menjaring kontestan (aktor politik) melalui beragam cara. Para aktor yang sudah tidak sabar melakukan konser di panggung politik pun, menikmati berbagai proses yang sudah ditetapkan oleh sang agen. Tidak patuh pada kehendak sang agen politik, konsekuensinya satu, akan tereliminasi dari konser-konser politik selanjutnya.
Banyak aktor politik yang berkecimpung di dunia politik sejak awal secara serius. Merintis karier dan meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk mengurus partai politik sehingga padanya melekat sebutan politisi. Bermodal kegigihan dan motivasi kuat, banyak dari mereka yang berhasil menduduki jabatan penting, tetapi tidak sedikit pula yang terpental karena berbagai sebab. Ada yang memang karena kesalahan sendiri, ada juga yang keluar karena "diformat" oleh rival politik untuk keluar dari partai.
Tak terkira juga banyaknya para aktor yang memulai debut politiknya secara instan. Tanpa pernah melalui proses "pengkaderan" tiba-tiba sudah menduduki jabatan strategis pada partai dan berpeluang emas untuk melenggang pada Pemilu. Entah sebagai kepala negara, daerah (pasangan gubernur maupun bupati) atau juga anggota legislatif. Pada mereka, masyarakat terkadang enggan memberi label politisi, cenderung dipanggil sesuai nama atau jabatannya semata. Dalam kondisi ini, agen politik telah berubah menjadi kendaraan yang dapat mendukung dan memuluskan perjalanan politik mereka. Berbekal dorongan hasrat yang menggebu, biasanya para aktor dadakan ini akan nekat "membeli kendaraan" tersebut dengan harga yang ditentukan agen politik dan biasanya akan sangat mahal. Tentu, perbuatan agresi politik ini akan berdampak pada tergusurnya kader partai yang lain, yang mungkin sudah lama berkecimpung di partai tersebut.
Sangat banyak kasus yang dapat kita jadikan rujukan terhadap hal ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa saat ini adalah moment yang pas untuk menyaksikan berbagai bentuk dan manifestasi perbuatan yang mengarah ke agresi politik ini. Akan banyak kontestan politik lama yang bertarung kembali atau newcomer karena sudah berhasil membeli "kendaraan politik."
Menghabiskan modal kapital untuk membeli kendaraan politik tentu bukan yang mudah dan murah untuk dilakukan. Belum lagi nanti jika pada proses Pemilu ternyata tidak berhasil memenangkan keinginanya, maka bersiap-siaplah untuk menjadi bulan bulanan netizen serta menghadapi tumpukan hutang. Siapa pun.pasti paham bahwa cost politik itu sangat tinggi. Setelah menang, bersiaplah untuk kedatangan tamu yang banyak setiap hari dari berbagai pihak terutama timses karena dianggap sudah mendukung dan berusaha secara penuh sehingga dia memenangkan pemilu. Hal lain yang harus diwaspadai oleh newcomer adalah "balas dendam politik" dari politisi senior yang sebelumnya berhasil disingkirkan ketika ia berhasil membeli kendaraan politik tersebut.
Seperti halnya hukum yang berlaku dalam jurakan. Siapa pun boleh mencoba untuk naik, mencapai puncak dan mengambil hadiah asalkan didukung oleh banyak orang. Karena untuk mencapai puncak bukan perkara yang mudah. Harus ikhlas dan legowo juga ketika orang yang tadi diinjak sebagai pendukung malah lebih gesit, berhasil naik dan balas menginjak. Hal ini serupa juga dengan hukum kausalitas, sebab dan akibat. Jika sudah berbuat demikian, maka jangan marah ketika orsng pun berbuat demikian. Karena memang demikianlah gaya hidup yang ditawarkan dan dijanjikan dalam dunia politik.
Curahan hati yang disampaikan oleh Fulan, sang Ketua DPRD di Kabupaten Loura menjadi salah satu bukti konkrit bahwa jurakan politik itu sedang terjadi di tubuh partai berlambang burung tersebut. Masyarakat paham bahwa Dollah, sang aktor politik yang sedang menikmati konsernya sebagai wakil bupati itu naik takhta karena membeli kendaraan melalui Fulan dengan harga yang cukup fantastis. Sekarang, Fulan yang teriak karena merasa bahwa Robin, rekan separtainya tidak menghargai Dollah, sering tidak patuh pada kode etik partai dan melangkahi Dollah dalam membuat keputusan, padahal Dollah sudah menjadi ketua, yang artinya dia (Fulan) dan Robin adalah bawahan Dollah. Ironisnya, si Robin cuek bebek dan mungkin juga Fulan lupa, bahwa ia menaikkan Dollah ke posisi itu dengan menginjak pundak dan kepala Robin dulunya. Nah, ketika Robin sekarang melakukan hal yang sama, kenapa mereka harus protes?
IR_75
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H