Lihat ke Halaman Asli

Konsep Barokah dalam Meningkatkan Hasil Belajar Santri

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dunia pesantren, dunia yang penuh teka-teki. Sering kita mendengar cerita mengenai kisah seorang santri yang tidak pernah belajar, jarang kelihatan mengaji, kerjaannya menjadi abdi kyainya, sepulang dari pondok menjadi seorang kyai di masyarakatnya.

Dari manakah ilmu itu datang, padahal belajar pun jarang ? Apakah ada pengaruh barokah yang popular di dunia pesantren terhadap hasil belajar santri ?

Ya, kita kembali ke konsep awal belajar. Hakikat belajar itu apa. Apakah belajar hanya sekedar berkutat dengan buku-buku ataupun kitab-kitab. Tidak. Belajar tidak hanya sekedar aktivitas kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara sengaja. Belajar kehidupan, belajar dari pengalaman, merupakan hakikat belajar yang sesungguhnya. Belajar yang demikian lebih melekat di dalam diri kita, lebih mampu merubah pribadi kita, dari pada semua mata pelajaran yang pernah kita dapat di bangku sekolah.

Sedangkan barokah, ay yazidul khoir ,merupakan prinsip kinerja yang didasari dengan keikhlasan, mengharapkan kepada tambahnya kebaikan dan ridho dari Allah semata. Dalam menjalankan setiap pekerjaan, tidak ada rasa pamrih, tidak ada rasa keinginan untuk mendapatkan kemuliaan, harta, atau apapun yang berbentuk materi duniawi semata. Namun yang diharap hanya satu, li ibtighoi mardhotillah.

Di dalam Kitab Ta’lim Muta’allim, merupakan pedoman dasar bagi para santri untuk menuntut ilmu, mengutip salah satu syair dari Imam Syafii, yang intinya berisi ilmu merupakan nur Allah, cahaya yang diberikan oleh Allah, dan cahaya ini tidak akan diberikan kepada orang yang melanggar perintah Allah.

Disini jelas bahwa konsep menuntut ilmu di kalangan pesantren, berbeda dengan konsep menuntut ilmu di kalangan modern. Kalangan pesantren salaf lebih menekankan kepada nilai dan ridho Tuhan; sedangkan dalam kalangan modern menuntut ilmu, sekolah, kuliah, dll, tujuannya pada akhirnya hanya untuk dunia kerja.

Tholabul ilmi, kalau tujuannya untuk memenuhi dunia kerja, hanya untuk bersaing dengan masyarakat, mencari kekayaan, harta, dan materi duniawi lainnya, maka tsamarotul ilmi dan ladzatul ilmi tak akan dirasakan oleh para penuntut ilmu. Realitanya, banyak orang yang berpendidikan tinggi, namun ilmu nya bak terkelupas dari dirinya. Maksiat sering dilakukan, korupsi merajalela, penyelewengan-penyelewangan sering terjadi.

Pemahaman merupakan sampai nya akal pikiran kepada makna. Makna yang sesungguhnya, tak akan di dapat jika pikiran dipenuhi dengan berbagai macam kotoran. Pikiran harus menjadi bercahaya, dan cahayanya dinyalakan dengan ketulusan dan keikhlasan.

Pikiran yang bercahaya, pikiran yang bersih, terkait dengan bagaimana hati seorang individu pula. Hati merupakan pemimpin dari semua anggota tubuh, apabila hati itu sehat, maka anggota tubuh yang lainnya sehat pula.

Mengosongkan hati dan pikiran dari segala jenis kotoran dan penyakit, merupakan inti dari masuknya berbagai macam pemahaman. Disinilah akan terjadi transfer of knowledge, dari Sang Pemilik Ilmu kepada hati dan akal pikiran manusia. Suatu ilmu dan pemahaman yang tidak didapat dari buku-buku. Suatu ilmu dan pemahaman yang melekat pada pribadi manusia. Akhirnya, proses belajar yang dijalankan melalui proses “laku” lebih menambah kan kebaikan, walopun tidak sering berkutat dengan buku-buku selama proses belajar. Benarlah kata pepatah “pengalaman merupakan guru yang terbaik”.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline