Konsep dropshipping dari perspektif fiqh muamalah Islam kontemporer. Tujuan ini adalah untuk melihat bagaimana model dropshipping berhubungan dengan prinsip-prinsip Islam. Dari sudut pandang yurisprudensi Islam, ini melihat bahwa dropshiping dilarang (haram) karena adanya riba nasi'ah (uang) untuk barang ribawi dan penjualan barang non-ribawi sebelum kepemilikan. Namun demikian, ada beberapa solusi syar'i untuk dropshipping, seperti mengubah ijab qobul (memberi dan menerima), menggunakan wakalah bil ujroh (pembeli yang bertindak sebagai perwakilan konsumen), dan menerapkan konsep ba'i al-wafa (jualan pembayaran yang ditunda). Tujuan solusi ini adalah untuk mengubah model dropshipping agar sesuai dengan hukum Islam.
Menurut hukum Islam, usury, atau riba, membuat transaksi haram. Usury adalah istilah yang mengacu pada pembayaran bunga atas pinjaman atau hutang. Ketika dropshipper menjual barang ribawi dan mengenakan biaya tambahan sebagai keuntungan atau bunga, ini dianggap sebagai riba nasi'ah, yang merupakan peningkatan jumlah yang berhutang dari waktu ke waktu. Ini dikenal sebagai usury dalam konteks dropshipping. Dalam transaksi dropshipping yang melibatkan barang non-ribawi, juga dapat ada usury. Ini terjadi ketika dropshipper menjual barang sebelum benar-benar memilikinya; istilah "menjual sebelum memiliki" digunakan untuk menggambarkan situasi ini. Karena dropshiper menjual barang yang tidak mereka miliki, keuntungan yang mereka hasilkan dianggap sebagai peningkatan yang tidak adil, praktik ini dianggap sebagai bentuk usury.
Oleh karena itu, dianggap tidak dapat diterima bahwa usuri terlibat dalam transaksi dropshipping karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keuangan Islam. Sangat penting bagi mereka yang melakukan dropshipping untuk memastikan bahwa transaksi mereka mematuhi prinsip-prinsip Islam dan tidak melibatkan usuriah apa pun. Ketentuan yang digunakan untuk penjualan dan pembelian harus diperiksa dengan hati-hati untuk memastikan bahwa mereka sesuai dengan prinsip Islam. Ini termasuk mempertimbangkan apakah barang yang diperdagangkan ribawi atau non-ribawi. Barang ribawi, seperti makanan, pakaian, atau perhiasan tertentu, dilarang menggunakan model dropshipping karena melibatkan unsur riba nasi'ah. Sebaliknya, barang non-ribawi, seperti perangkat elektronik atau barang rumah tangga, mungkin tetap bermasalah karena masalah penjualan sebelum kepemilikan.
Untuk dropshipping, dropshipper dapat mempertimbangkan solusi Syar'i seperti mengubah persyaratan kontrak seperti ijab qobul (menyajikan dan menerima) dan menerapkan gagasan wakalah bil ujroh (agensi dengan kompensasi), di mana dropshipper berfungsi sebagai perwakilan konsumen.
Secara keseluruhan, analisis ini menyimpulkan bahwa model dropshipping perlu dievaluasi dan diubah dengan cermat untuk memastikan bahwa itu sesuai dengan aturan Islam dan tidak mengandung elemen yang dilarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H