Lihat ke Halaman Asli

Siti Rahmah

Mahasisa STEI SEBI

Penerapan Kaidah-Kaidah Fiqhiyah Selain 5 Kaidah Pokok dalam Transaksi Keuangan

Diperbarui: 17 Januari 2024   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pengelolaan transaksi keuangan merupakan bagian integral dari kehidupan modern, terutama dalam konteks bisnis dan aktivitas ekonomi. Dalam melaksanakan transaksi keuangan, banyak prinsip dan kaidah yang telah diakui secara luas, salah satunya adalah lima kaidah pokok dalam fiqih keuangan Islam. Namun, selain kelima kaidah pokok tersebut, terdapat juga kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya yang memiliki peran penting dalam menjaga keadilan dan ketertiban dalam transaksi keuangan.

Tujuan kaidah fiqhiyah dalam transaksi keuangan adalah untuk memberikan pedoman dalam menjalankan transaksi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Kaidah-kaidah fiqhiyyah ini bertujuan untuk menetapkan hukum Islam dalam persoalan-persoalan baru yang terus berkembang, terutama dalam konteks transaksi keuangan Islam. Mereka juga membantu dalam memperoleh kemudahan mengetahui hukum-hukum kontemporer, terutama dalam persoalan ekonomi yang banyak tidak memiliki landasan hukum yang pasti dalam al-Qur'an atau al-hadits. Dengan demikian, penerapan kaidah-kaidah fiqhiyyah dalam transaksi keuangan diharapkan dapat menjustifikasi dan melegitimasi seluruh aktivitas ekonomi umat Islam, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Berikut kaidah-kaidah fiqhiyah selain 5 kaidah utama :

1. Kaidah   - ''pengikut itu harus mengikuti (hukum yang diikuti)."

Istilah "al-tabi'" (pengikut) merujuk pada suatu entitas yang tidak dapat eksis secara mandiri, melainkan keberadaannya tergantung pada sesuatu yang menjadi dasarnya, yaitu "al-matbu'. Sebagai contoh, dalam konteks penjualan binatang yang sedang hamil, hukum memandang bahwa janin yang berada dalam perut binatang tersebut akan mengikuti status penjualan induknya. Oleh karena janin memiliki status sebagai "pengikut" dari induknya, maka janin tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi objek transaksi. Begitu juga, ketika janin dijual, janin tersebut tidak boleh dijual secara terpisah tanpa mengikutsertakan induknya.

2. Kaidah -"Memberlakukan    kalam    (ucapan)    sesuai    tuntutan    makna, lebih diprioritaskan dari pada men-disfungsikannya."   

Ujaran yang diucapkan oleh seseorang seringkali menghasilkan interpretasi yang beragam, dan variasi penafsiran tersebut dapat disebabkan oleh sifat konotatif atau denotatif dari makna ujaran tersebut. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa kedua aspek bahasa tersebut diterapkan sesuai yang seharusnya, atau sebaliknya, tidak berfungsi karena beberapa faktor mendasar. Penting dicatat bahwa prinsip ini berlaku ketika fungsi dan disfungsi bahasa berada pada tingkat yang sama dan sejajar dari segi pengucapan. Sebagai contoh, dalam transaksi keuangan, jika terdapat perjanjian pinjam-meminjam secara lisan, kaidah ini menekankan bahwa implementasi atau pelaksanaan ujaran atau perjanjian tersebut lebih diutamakan daripada mengabaikannya.

3. Kaidah -- "Menolak lebih kuat daripada menghilangkan"

Kaidah tersebut secara  sederhana  mempunyai  arti: "Potensi menolak lebih kuat daripada potensi menghilangkan." Sebagai contohnya, dua pihak sepakat untuk melakukan transaksi jual-beli aset dengan syarat-syarat tertentu. Namun, seiring waktu, salah satu pihak menyadari bahwa terdapat ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap peraturan syariah dalam perjanjian tersebut. Dalam konteks kaidah ini, penolakan () atas transaksi tersebut memiliki kekuatan hukum yang lebih besar daripada sekadar mencabut atau menghilangkan () perjanjian tersebut.

4. Kaidah - "Kebijakan     seorang     pemimpin     atas     rakyat     harus berdasarkan kemaslahatan"

Pemimpin hanyalah wakil dari perwujudan hak-hak rakyat, oleh karena itu mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Oleh karena itu, para pemimpin pengambil kebijakan dan seluruh lembaganya harus melakukan hal ini. Pejabat pemerintah tidak diperbolehkan mengambil keputusan kebijakan hanya berdasarkan satu pertimbangan saja, meskipun hal tersebut diyakini akan memberikan manfaat yang lebih besar. Misalkan, seorang pemimpin ekonomi di suatu negara mempertimbangkan kebijakan fiskal untuk menetapkan pajak baru atau mengubah tarif pajak yang berlaku. Dalam konteks kaidah ini, pemimpin tersebut harus memastikan bahwa kebijakan pajak yang diambilnya memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat dan ekonomi negara tersebut.

5. - "Apabila berkumpul halal dan haram, maka dimenangkan yang haram."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline