Perkembangan teknologi kian hari memperlihatkan keterlibatannya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dalam dunia media, teknologi telah menciptakan ruang komunikasi berbasis massal dengan kecepatan tinggi (Tamrin, 2022).
Media komunikasi saat ini, bukan hanya untuk sebatas berkomunikasi dengan orang lain dalam dunia maya, akan tetapi media komunikasi juga mampu menyerap hal-hal viral yang terjadi di masyarakat.
Sesungguhnya apa yang viral di media massa, kebanyakan isinya adalah viralnya seorang perempuan. Padahal media tidak hanya mengeksploitasi perempuan di jejaring sosial melalui bentuk tubuh, namun juga melalui narasi yang dikonstruksikan kepada khalayak, seperti pemberitaan tentang perempuan cantik yang viral di jagat maya.
Pemberitaan tentang perempuan cantik yang viral seolah menjadi produk berita yang memiliki nilai berita yang tinggi di masyarakat dan kata "cantik" ini seolah-olah memberikan perbedaan antara perempuan-perempuan lainnya.
Dalam media komunikasi dan media massa, tak jarang kita temukan berita atau informasi yang tersebar mengenai viralnya seorang perempuan cantik.
Misalnya saja berita yang dikutip dari Dream.co.id yang narasi judul beritanya "Viral Badut Pengamen Berparas Cantik, Banjir Doa dari Warganet", berita lainnya yang dikutip dari Suara.com yang berjudul "Viral Video Ukhti Cantik Penjual Kelapa, Warganet Ngaku Adem Lihat Penampilannya", dan judul berita yang dikutip dari iNews Portal yang berjudul "Gadis Cantik Sopir Truk Batu Bara yang bantu Ekonomi Keluarga Ternyata Bermimpi Jadi Pramugari".
Dengan narasi judul yang ditampakkan oleh media tersebut, seolah-olah menggiring opini publik bahwa hanya perempuan yang disebut cantik sajalah yang mendapatkan perhatian dan atensi dari publik. Makna perempuan cantik itulah yang kemudian menjadi bahan eksploitasi media terhadap perempuan.
Kebebasan media dalam menempatkan perempuan sebagai objek hingga saat ini bukan hal baru terjadi di media massa. Media massa seringkali menempatkan perempuan sebagai salah satu komoditas yang dapat dieksploitasi. Akan tetapi, kaum perempuan yang menjadi bahan eksploitasi di media massa bahkan tidak menyadari bahwa daya tarik visualnya digunakan untuk kepentingan pemilik modal dan menempatkan posisinya sebagai marginal.
Sangat penting untuk menganalisa dengan kritis mengenai pergeseran makna yang terjadi dalam pemberitaan dengan narasi "cantik" yang viral di jejaring sosial. Tentunya untuk menganalisis permasalahan yang menjadi bias gender ini diperlukan studi kritis dari berbagai paradigma sosiologis agar kita dapat melihat permasalahan ini dari berbagai sudut pandang.
Dalam teori sosiologis feminis yang berawal dari sosiologi pengetahuan karena feminis berusaha menjabarkan, menganalisis, dan mengubah dunia dari sudut pandang perempuan, dan karena bekerja dari posisi subordinat di dalam relasi sosial, mereka melihat produksi pengetahuan adalah bagian dari sistem kekuasaan yang mengatur semua produksi di dalam masyarakat.
Teori sosial feminis mencoba mengubah perimbangan kekuasaan dalam diskursus sosiologi dan di dalam teori sosial dengan menciptakan suatu sudut pandang perempuan sebagai salah satu paradigma bagi konstruksi pengetahuan sosial (Ritzer & Goodman, 2009).