Lihat ke Halaman Asli

Hikayat Babi dan Manusia-manusia Hina

Diperbarui: 18 Februari 2016   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seandainya saya bisa menjelaskan betapa buruknya nasib saya, barangkali Sukindar tak bakal semurung itu. Bukankah manusia selalu bahagia mendapati nasib buruk menimpa tetangganya. Lebih-lebih jika tetangga itu lebih cakep mukanya. Maka, meskipun kesedihan saya lebih agung daripada kebesaran Gunung Kidul, sungguh saya turut prihatin atas keapesan nasib Sukindar, pujangga muda dari Gunung Kidul.

“Katanya, saat dia membaca puisi saya di kolom Koran, dia mengkhayalkan muka saya sebelas tigabelas dengan Rangga.”

Tentu, saya terkekeh hingga terkencing-kencing mendengar ucapannya barusan. Sungguh, kentutnya saja tak ada miripnya dengan Rangga. Pantas saja gebetannya itu justru kabur dan kawin dengan pemuda lain selepas prosesi, “ketemuan”.

“Tuhan tak adil, bukan? Mengapa wajah jelek diciptakan sedang nikah begitu dianjurkan. Bukankah wajah jelek selalu menghalangi niat manusia untuk berpasangan? ”

Oh Tuhan, bahkan saya tak pernah berharap semuluk itu. Saya tak mendamba menjalin rumah tangga bersama babi betina gendut yang semlohai. Saya tak menuntut Tuhan untuk menampankan wajah saya, memontokkan bokong saya, dan sebagainya. Saya hanya mengharapkan satu hal.

Tuhan, jadikanlah hamba halal bagi mereka!

Bukannya sombong, seingat saya, seumur hidup saya tak pernah berbuat dosa. Melakukan maksiat, menentang perintah agama, atau durhaka kepada orang tua. Saya bukan babi yang homo, bukan babi pemakan tai, bukan juga babi yang gemar menghujat sesama babi. Semua saya lakukan dengan satu harapan. Dengan menjadi seperti itu, saya berharap menjadi babi yang halal, yang suci dan menyucikan keluarga saya.

Saya makan makanan yang bersih, cebok sehabis buang air, dan sikat gigi setiap pagi dan sore. Saya yakin, daging saya bebas cacing atau kuman atau apapun yang membahayakan manusia. Nyatanya, saya tetap saja makhluk yang keharamannya sudah tak bisa diganggu gugat!

Manusia ribut sesama manusia gara-gara saya. Makanan menjadi sampah jika nama saya disebut. Kerudung menjadi keset jika sebagian kecil tubuh saya terseret. Bahkan, bibir-bibir cantik akan bersorak ‘najis’, jika saya tak sengaja tertangkap mata mereka.

Duh Gusti, apa salah nenek moyang saya? Mbok ya saya mohon ampun, saya kepengen jadi yang halal… Kepengen sekali!

“Bombom, bukankah Gus Dur pernah bilang bahwa isi kutang itu lebih penting dari kutangnya! Maka, itu artinya, bukankah hati lebih utama daripada fisik, bukan?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline