Lompong atau disebut juga dengan talas, lumbu maupun keladi. Tanaman yang bernama latin colocasia esculenta ini disebut-sebut sudah ada sejak zaman purba, bahkan sejak zaman padi belum ditanam.
Di Jawa, Lompong Sudah Sangat Familier Bisa Dikonsumsi
Lompong, terutama di daerah Jawa dan khususnya di tempat saya Blitar, sudah sangat familier sebagai salah satu tanaman yang bisa dikonsumsi. Almarhumah Ibu sayapun dulu sering memasak lompong sebagai alternatif sayur untuk menyelingi sayuran lainnya.
Zaman dulu lompong ditanam hampir di setiap pekarangan rumah. Jadi bila akan memasak lompong, tinggal memetik di pekarangan sendiri. Jikapun ada beberapa warga yang kebetulan tidak menanam, akan dengan mudah mendapatkan lompong dari para tetangga dengan cuma-cuma.
Kini, lompong semakin mashur, dijadikan sebagai tanaman budi daya yang mempunyai prospek bagus. Di samping batangnya, daunnya pun ubinya bisa dikonsumsi.
Batang lompong untuk sayur lodeh atau ditumis, daunnya juga bisa untuk sayur Buntil. Terlebih lagi ubinya bisa diolah menjadi kripik Mbote dan kripik Bentul yang daya jualnya lumayan tinggi.
Oleh karena itu, lompong kini dijual di pasar. Di daerah saya, masih sangat mudah mendapatkan lompong. Di keluarga saya, ada beberapa pohon lompong yang ditanam mendiang Bapak Mertua yang sesekali saya petik untuk sayuran.
Terkadang kalau mau lebih cepat, dan lagi malas memetik, saya beli lompong di tukang sayur yang tiap pagi lewat depan rumah. Seikat lompong (kira-kira 500 gram) harganya hanya 2500. Untuk keluarga dengan jumlah anggota 2-4 orang, seikat lompong sudah cukup. Cukup murah bukan?
Merindukan Sayur Lodeh Lompong
Beberapa bulan yang lalu, saat ada acara Khataman Al-Qur'an grup teman kuliah di Malang. Saya membawa sayur lompong karena ada reques dari seorang teman. Kebetulan beliau sekarang tinggal di Lampung dan beliau sering merindukan makanan tradisional dari Jawa, termasuk sayur lompong.