Sejarah pendidikan di Indonesia adalah kisah panjang tentang bagaimana bangsa ini membangun sistem pendidikan yang mampu mendukung kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Perjalanan pendidikan di Indonesia dimulai jauh sebelum era penjajahan, ketika pendidikan masih sangat terbatas pada lingkungan keluarga, lingkungan kerajaan, atau kalangan ulama.
Namun, dengan datangnya bangsa-bangsa asing ke Indonesia, terutama Belanda, pendidikan mulai mengalami perubahan signifikan. Perjalanan sejarah ini melalui berbagai fase penting, mulai dari masa pra-kolonial, kolonial, hingga era kemerdekaan dan reformasi. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi lebih dalam bagaimana pendidikan di Indonesia tumbuh dan berkembang hingga menjadi seperti saat ini.
Pendidikan di Masa Pra-Kolonial
Sebelum datangnya penjajah ke Indonesia, pendidikan di Nusantara sudah ada dalam bentuk yang sangat sederhana. Pendidikan kala itu lebih banyak berkaitan dengan aspek kehidupan sehari-hari dan agama. Di kalangan masyarakat biasa, pendidikan lebih berfokus pada keterampilan yang diperlukan untuk hidup seperti bertani, berburu, atau membuat kerajinan tangan. Pendidikan ini ditransmisikan dari orang tua kepada anak-anak mereka secara turun-temurun.
Namun, di lingkungan kerajaan dan masyarakat yang lebih maju, seperti di Jawa, Sumatera, dan Bali, pendidikan sudah memiliki struktur yang lebih formal, terutama bagi keluarga bangsawan. Pada masa Kerajaan Hindu-Buddha seperti Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, pendidikan berpusat di sekitar ajaran agama, sastra, dan seni. Para pendeta atau guru yang dikenal sebagai "resis" memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak bangsawan dan calon pemimpin kerajaan.
Selain itu, pengaruh Islam yang masuk ke Indonesia pada abad ke-13 juga membawa perubahan dalam pendidikan. Munculnya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di beberapa wilayah Nusantara merupakan salah satu bukti konkret dari dampak kedatangan Islam. Di pesantren, para santri diajarkan berbagai ilmu agama, seperti tafsir Al-Qur'an, hadits, fiqh, serta ilmu tasawuf. Sistem pendidikan pesantren ini kemudian menjadi cikal bakal dari pendidikan berbasis Islam yang berkembang pesat di Indonesia.
Pendidikan di Masa Kolonial
Perubahan signifikan dalam pendidikan di Indonesia mulai terjadi pada masa penjajahan, terutama ketika Belanda mendirikan koloninya di Nusantara pada abad ke-17. Pendidikan pada masa kolonial lebih diarahkan untuk kepentingan penjajah, bukan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Sistem pendidikan pada masa kolonial terbagi menjadi dua lapisan utama: pendidikan bagi kaum pribumi dan pendidikan bagi anak-anak Eropa atau kaum elite.
Pada awalnya, pendidikan bagi pribumi sangat terbatas, dan hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu seperti bangsawan atau pegawai yang bekerja di pemerintahan kolonial. Sebaliknya, pendidikan bagi kaum Eropa atau anak-anak pejabat kolonial sangat terstruktur dan maju. Mereka memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kurikulum Eropa, sementara pendidikan bagi pribumi hanya difokuskan pada keterampilan dasar yang dianggap perlu oleh pemerintah kolonial, seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda mulai membuka akses pendidikan yang lebih luas bagi pribumi melalui apa yang dikenal sebagai "Politik Etis." Politik Etis ini lahir dari kesadaran sebagian tokoh Belanda yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral untuk memajukan kesejahteraan bangsa pribumi. Salah satu wujud dari Politik Etis adalah dibukanya sekolah-sekolah bagi anak-anak pribumi, seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS) untuk anak-anak bangsawan pribumi, Sekolah Ongko Loro untuk anak-anak dari kalangan menengah ke bawah, dan Sekolah Kelas Dua.
Namun, meskipun pemerintah kolonial mulai membuka sekolah-sekolah bagi pribumi, pendidikan ini masih sangat diskriminatif. Akses pendidikan hanya diberikan kepada sedikit orang, dan kurikulumnya didesain agar bangsa Indonesia tetap menjadi tenaga kerja yang terampil, namun tidak cukup berpendidikan untuk menantang otoritas kolonial. Pendidikan juga digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan kolonial, di mana materi pelajaran yang diajarkan cenderung mempromosikan nilai-nilai budaya Barat dan merendahkan budaya serta tradisi lokal.