Sepekan kemarin siswa-siswi SLTA mengikuti kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Mengacu pada Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016, MPLS dimaksudkan untuk mengenalkan program-program sekolah serta sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah sehingga para siswa dapat memanfaatkannya dengan baik.
Selain itu, kegiatan MPLS atau sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan "Masa Orientasi Siswa/MOS" mengenalkan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah, termasuk kegiatan ekstrakulikuler (ekskul) sebagai kegiatan tambahan siswa.
Namun demikian, ada dua hal menarik dan saya kira ini sangat positif yang menjadi pembeda MPLS saat ini dibandingkan MOS tahun-tahun sebelumnya. Pertama, dilarangnya kegiatan-kegiatan yang bersifat hura-hura dan tidak mendidik. Sebelum terbitnya Permendikbud No. 18 Tahun 2016, kegiatan MOS identik dengan perpeloncoan atau bahkan penganiayaan terhadap siswa baru.
Kegiatan MOS seringkali menjadi media "balas dendam" para siswa senior kepada para siswa baru dan seringkali menciptakan semacam lingkaran kekerasan di sekolah. Kedua, dimasukkannya materi "budaya literasi" dalam rangkaian kegiatan MPLS sehingga menjadikan kegiatan orientasi siswa lebih intelek dan beradab.
Menurut hemat penulis, masuknya materi budaya literasi dalam MPLS tentu bukan suatu kebetulan. Ini barangkali disebabkan karena dua hal. Pertama, adanya kenyataan bahwa budaya literasi yang kita miliki masih rendah. Kita tentu mafhum berbagai hasil survey telah memperlihatkan betapa budaya literasi kita masih tertinggal oleh negara-negara lain di dunia, bahkan di level regional baik di Asia maupun di ASEAN.
Kedua, mulai munculnya kesadaran untuk memperbaiki tingkat literasi kita untuk mengejar ketertinggalan kita dalam budaya literasi. Lahirnya Permendikbud No.23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti menjadi dasar yang kemudian melahirkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Dengan begitu barangkali, sinergi GLS dalam MPLS diharapkan selain dapat meminimalisir kegiatan hura-hura dan perpeloncoan yang tak mendidik, menghilangkan budaya kekerasan di sekolah, sekaligus juga dapat menumbuhkembangkan minat baca siswa yang pada gilirannya diharapkan dapat turut mendorong peningkatan budaya literasi.
Sinergi program GLS dalam MPLS tentu sangat positif dan ideal. Melalui kegiatan MPLS, program GLS dikenalkan dan terus didorong pengkondisiannya secara massif. Dalam tataran implementasinya, program GLS setidaknya terbagi dalam tiga tahap, yakni tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran.
Pada tahap awal biasanya berorientasi pada penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca buku non-pelajaran. Kemudian pada tahap pengembangan para siswa didorong untuk meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan pengayaan seperti mereview buku, membagi hasil bacaan, serta saling menanggapi dan menganalisa hasil bacaan.
Pada tahap berikutnya, para siswa didorong untuk meningkatkan kemampuan literasi dan dikaitkan dengan semua mata pelajaran. Pada tahap ini, siswa mencoba menggunakanbuku pengayaan dan strategimembaca di semua mata pelajaran dan untuk itu ada "tagihan akademik" dari setiap mata pelajaran. Melalui MPLS, kini para siswa lebih didekatkan dengan program GLS. Untuk konteks Jawa Barat lebih spesifik lagi dengan program West Java Leaders's Reading Challange (WJLRC).
Sinergi Literasi dengan KBM