"Qadarullah, selamat bunda, janinnya udah 9 minggu", ucap dokter sembari tersenyum padaku.
"Bayi, dok?"
"Iya bunda, alhamdulillah, janinnya sehat"
Ungkapan takdir tidak ada yang tahu benar adanya. Diagnosa dokter perihal aku yang mengidap endometriosis dan tak dapat memiliki keturunan bak angin lewat. Rasa bahagia dalam hati mengalahkan kenyataan pahit, bayi ini ada karena diriku korban pelecehan seksual. Duhai Tuhanku, kenapa harus aku?
"Aku hamil"
"Yakin itu anakku? Bukannya kamu perempuan murahan?"
"Bisa hati-hati kah kalo ngomong? Yang ngancem aku selama ini siapa? Hahh?? Aku korban brengsek!", tanpa sadar telapak tangan ini sudah melambung ke pipinya begitu keras. Mulutku bergetar, lidahku kilu. Butuh keberanian besar mengatakan hal ini padanya.
"Iyaa iya, aku tanggung jawab, kita nikah", ucapnya dengan santai.
Menikah dengan orang yang memaksa menyetubuhi diriku tak pernah terpikirkan dalam kamus hidupku. Sehancur inikah kisahku? Ingin mengungkapkan tapi aku takut, takut anak ini tak memiliki ayah atau mungkin memiliki ayah yang tak menganggapnya ada.
Seakan kisah lama terulang kembali, aku yang terlahir dari keluarga broken home, keduanya mengabaikanku. Meninggalkanku diusia baru 5 tahun, mereka dengan sadar pergi membangun keluarga masing-masing. Luka itu masih terasa hingga kini.
Katanya waktu akan menyembuhkan luka. Namun sejatinya waktu tidak menjamin luka seseorang akan pulih meski telah berlalu begitu lama. Ada orang yang menyimpan sakit hati pada keluarganya, pasangannya atau bahkan pada anaknya. Orang itu menyimpan sakit yang luar biasa dan terus-menerus memupuknya.
Bertahun-tahun hidup seorang diri, bermodalkan kerja sambilan dengan ijazah SMA. Asam lambung naik sudah menjadi makanan sehari-hari. Aku kira sulitnya hidup yang ku jalani karna hutang karma orang tuaku yang belum lunas. Mamaku yang tak pernah menganggapku anaknya lagi, bahkan ayahku yang selalu main tangan saat tak sengaja bertemu denganku.
"Karma dalam Islam itu tak ada, yang ada balasan dari setiap perbuatan orang tersebut", kata Ustadz disebuah kajiaan pagi itu.
Jika memang benar, kenapa hidupku sesulit ini Tuhan? Jika memang kesulitan yang kualami bukan untuk membayar hutaang perbuatan orang tuaku. Aku sudah berusaha mendekatkan diriku pada-Mu. Tapi kemanakah Engkau? Setiap malam aku merasa kecewa dan marah dengan diriku sendiri. Sungguh aku tak bisa memaafkan diriku yang semenyedihkan ini.
Kupaksakan diri untuk pulih. Pulih berarti ikhlas menerima semua yang terjadi sambil mengobati luka yang terlanjur ada. Pulih tidak berarti kita bisa melupakan semuanya, tapi setidaknya luka itu tidak akan terasa lagi nyerinya.
23 Maret 2024
Hari pernikahanku dengan bajingan itu. Ungkapan selamat membuka lembaran baru tak berlaku bagiku. Realita yang terjadi, selamat membuka luka baru menusuk tubuh yang makin rapuh. Duhai saudariku sesama perempuan, jika kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan? Tetap menikahi laki-laki itu karena takut kelak anak terluka sebab tak memiliki ayah atau membunuhnya sebelum ia lahir kedunia? Sepertinya memang tak ada cara lain selain menikahinya, mengorbankan diriku demi kehidupan anakku. Ya, akan kulakukan demi anakku.
"Mungil, menggemaskan sekali,dok", mataku berkaca-kaca melihat hasil USG.
"Jaga kesehatannya ya bunda. Apa yang bunda rasakan, dia juga bisa merasakannya".