"Jadi, kapan Abang pulang?" tanya Ara saat melakukan video call dengan Wisnu, kekasihnya.
"Sabar, Sayang. Aku juga belum tau kapan pastinya."
"Iya, iya. Semoga segera, aku udah lumutan tau nungguin kamu."
Sekarang semua telah menjadi kenangan. Sehari setelah pembicaraan itu, Wisnu memutuskan hubungan melalui via chat. Berulang kali Ara mencoba menghubungi untuk meminta penjelasan, tetapi tak bisa tersambung. Perasaannya hancur, semua angan yang pernah terbayang sirna seketika. Dia hanya bisa menangis dan meringkuk dalam kamar.
"Ara ... ada temen kamu di depan." Suara ibu terdengar dari balik pintu. Ara menyeka kedua sudut mata, lalu beranjak ke meja rias. Dia menatap nanar gambar diri di sana. Di mana letak kekurangannya? Kecantikankah? Atau apa? Ara melempar cermin dengan botol hand body hingga menimbulkan bunyi pecahan.
"Ara!? Kamu baik-baik saja, kan?" Suara ibu terdengar panik.
"Em, iya. Aku baik-baik saja, Bu. Itu suara kaca yang jatuh, ibu gak usah khawatir," balas Ara dengan air mata berderai.
"Syukurlah. Terus itu temanmu gimana? Mau---"
"Suruh pulang aja, Bu. Aku ngantuk," potong Ara cepat sebelum sang ibu menyelesaikan kalimat.
Suara langkah terdengar menjauh, ibu sudah pergi. Tangan Ara perlahan bergerak mengambil sebuah pecahan kaca. Mendekatkannya pada pergelangan tangan, lalu menyayatnya. Dia meringis, sakit. Darah mulai menetes ke lantai, tubuhnya melemas. Pandangan Ara memburam, lalu semua gelap bersamaan dengan tubuhnya yang tersungkur di lantai.
"Ara! Bangun, Nak!"