Lihat ke Halaman Asli

Tangisan di Ramadan

Diperbarui: 11 Oktober 2021   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kau gila, membangunkanku jam segini?" Lionel mendorong tubuh wanita tua itu hingga terjerembab ke lantai.

"Keluar dari kamarku!" hardik Lionel, dia membukakan pintu.

Wanita itu bangun dengan susah payah. "Nak ... ini hari pertama puasa. Kita sa-"

"Keluar sekarang! Apa telingamu sekarang sudah tuli!?" Lagi-lagi pria berambut gondrong itu mendorong Innah, ibunya.

Innah menyeka air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya. Lionel sekarang bukanlah yang dulu. Dia seperti orang berbeda dengan wajah sama. Perlahan diayunkan kaki kecilnya menuju meja makan. Lagi-lagi dia hanya sahur sendirian.

"Ya, Allah, kapan anakku kembali seperti dulu?" Innah berucap dalam hati, lalu mulai menyendokkan sedikit nasi ke piring plastik yang telah disiapkan.

Lionel Adaba, anak tunggal Innah, dan Marwan. Dulu dia adalah anak penurut, dan penyayang. Namun, Setelah kepergian sang ayah beberapa bulan lalu membuat mereka kehilangan segalanya. Perusahaan, rumah, dan semua harta mereka. Sejak saat itu pula, sikap dan sifat Lionel berubah drastis. Kini dia bekerja di sebuah kafe demi mencukupi kebutuhan sendiri. Ya, untuk hanya diri sendiri.

"Baju kuning kemarin ke mana!?" Suara Lionel menggema ke setiap sudut rumah berukuran 6 m x 8 m itu.

Innah yang tadi mencuci di kamar mandi tergopoh-gopoh menghampiri. "Ada apa, Nak, teriak-teriak?"

"Bajuku di mana!?" Mata Lionel melotot, dia menggeram seolah akan menerkam ibunya.

"Bentar biar ibu ambilkan," balas Innah, kemudian berbalik menuju kamar. Di sana dia sudah menggantung beberapa baju Lionel yang biasa dikenakan bekerja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline