Skripsi seolah telah menjadi momok bagi mahasiswa tingkat akhir, guna menyelesaikan pendidikan tinggi yang telah berlangsung selama 3 tahun ke belakang.
Skripsi yang sudah menjadi standar kelulusan dari tahun ke tahun, kini berganti kebijakan baru untuk dihapuskan.
Apakah mahasiswa seharusnya senang dengan kebijakan ini?
Bagaimana kompetensi yang akan diterapkan pihak kampus sebagai standar baru kelulusan?
Artikel ini akan berupaya menjawab dua keresahan di atas, dari sudut pandang mahasiswa tingkat akhir yang telah selesai mengerjakan Tugas Akhir.
Skripsi Tak Lagi Wajib, Pak Menteri: Jangan Senang Dulu!
Pertanyaan pertama, "Apakah mahasiswa seharusnya senang dengan kebijakan ini?"
Dilansir dari Kompas.com secara tegas sudah dijawab oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim di Kompleks Parlemen, pekan lalu.
"Jangan nanti ada headline di media, 'Mas Menteri menghilangkan skripsi', 'Mas Menteri menghilangkan, tidak boleh mencetak di jurnal'- Tidak."
Sehingga, mahasiswa jangan senang dulu dengan penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan. Hingga saat ini, banyak sekali kemelut dalam dunia pendidikan tinggi, termasuk dalam mengerjakan skripsi.
Kesulitan yang dihadapi mahasiswa tingkat akhir setidaknya mencakup hal berikut ini:
- Tidak memahami penelitian yang dikerjakan;
- Mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan dosen pembimbing;
- Memiliki masalah pribadi yang menghambat progres penyusunan.