Ketika Rasulullah SAW wafat merupakan musibah besar bagi umat Islam, sehingga kondisi saat itu menjadi kacau. Kekacauan tersebut dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, ketika Rasulullah Saw wafat banyak umat Islam yang tidak percaya. Bahkan, Umar bin Khattab mengancam akan memerangi siapa saja yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah meninggal. Abu Bakar selalu setia dan teguh dalam mendampingi Rasulullah SAW hingga wafatnya pada tahun ke-10 Hijriah atau sekitar tahun 632 Masehi. Setelah Rasulullah SAW wafat pada tahun tersebut, umat Islam mengalami kekacauan yang luar biasa.
Selain kesedihan, muncul persoalan besar lainnya, yaitu siapa yang akan menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat dan kepala pemerintahan. Selama Rasulullah Saw masih hidup beliau tidak pernah menunjuk secara langsung siapa yang akan menjadi penerusnya. Meski paman beliau, Al-Abbas bin Abdul Muththalib, pernah mau menanyakan hal ini, akan tetapi dicegah oleh Ali bin Abi Thalib.
Dikutip dari jurnal (Ahmad Yani, Menelaah kepemimpinan abu bakar Ash-Shiddiq). Oleh karena itu, kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah untuk bermusyawarah menentukan siapa yang akan menjadi khalifah. Perwakilan dari kaum Muhajirin kemudian ikut bergabung dalam musyawarah ini. Diskusi berlangsung alot karena baik Anshar maupun Muhajirin menginginkan calon dari golongan mereka masing-masing untuk menjadi pemimpin. Dalam pertemuan tersebut, Sa'ad bin Ubadah, seorang tokoh Anshar, menyampaikan pidato. Ia menegaskan bahwa kaum Anshar adalah penolong agama Allah dan pembela Islam. Abu Bakar kemudian berbicara, memuji kaum Anshar dan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Namun, Abu Bakar juga menegaskan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata bahwa urusan kepemimpinan berada di tangan Quraisy. Abu Bakar kemudian mengajukan dua tokoh Quraisy, Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Al-Jarrah, untuk dipilih sebagai khalifah. Namun, Umar segera berdiri dan justru mengajukan Abu Bakar sebagai khalifah, dengan alasan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling layak, mengingat ia adalah kepercayaan Rasulullah SAW. Bahkan, ketika Rasulullah tidak dapat memimpin shalat, Abu Bakar yang menggantikannya. Ucapan Umar disetujui oleh hadirin. Umar kemudian membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, diikuti oleh Ubaidah bin Al-Jarrah dan para sahabat lainnya, dimulai dari kaum Anshar, lalu kaum Muhajirin.
Masa awal khalifah Abu bakar, telah diguncang pemberontakan oleh orang-orang mustard, orang yang mengaku sebagai Nabi dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Masa kepemimpinan Abu bakar bisa dibilang sangatlah singkat, hanya dua tahun dalam masa pemerintahannya masa sesingkat itu habis dilakukan untuk menyelesaikan persoalan yang ada didalam negeri terutama yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kota Madinah.
Dikutip dari jurnal (Rahmatullah, Peran abu bakar dalam mempersatukan umat Islam). Fenomena nabi palsu sebenarnya sudah muncul sejak masa Nabi Muhammad SAW, namun kemuliaan Nabi yang luar biasa membuat mereka enggan berbuat lebih jauh. Sedangkan pemberontakan beberapa kabilah timbul karena mereka beranggapan bahwa perjanjian damai yang dibuat dengan Nabi SAW berlaku hanya untuk beliau pribadi, sehingga setelah wafatnya Nabi, mereka merasa tidak lagi perlu taat kepada penguasa Islam yang baru. Khalifah Abu Bakar AS, dengan kebijaksanaannya, memulai upaya pemulihan dengan memberikan peringatan kepada kelompok-kelompok tersebut. Jika mereka bersedia kembali ke jalan Islam, maka mereka akan diampuni, namun jika mereka tetap membangkang, maka langkah yang diambil adalah peperangan.
Adapun Umar bin Khattab mempunyai pendapat yang berbeda beliau mengatakan bahwasanya banyak dari suku Arab walaupun tidak membayar zakat tapi tetap memegang keyakinan akan keesaan Allah, sehingga menurut Umar mereka tidak layak untuk diperangi. Namun Abu Bakar tidak setuju karena hal tersebut tidak cukup, bagi mereka yang memeluk ajaran Islam harus menjalankan perintah Islam secara penuh. Jika tidak mereka harus menerima konsekuensinya, bahkan menurutnya mereka telah merusak kemaslahatan umat Islam, sehingga harus diperangi.
Perang Riddah terjadi karena banyaknya bangsa arab yang keluar dari Islam kecuali Mekah, Madinah dan Thaif. Terkait dengan kondisi ini membuat Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukan musyawarah dengan para sahabat besarnya guna meminta saran dalam memerangi mereka. Umar dan beberapa sahabat berpendapat untuk tidak memerangi mereka namun berusaha menggunakan cara lain untuk melembutkan hati mereka. Musyawarah ini berjalan dengan cukup sengit saling berlawanan dan berkepanjangan.
Dikutip dari jurnal (Rahmatullah, Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq) Abu Bakar al-Shiddiq akhirnya berhasil mengembalikan kaum murtad setelah perang riddah, peperangan dilakukan terhadap mereka yang murtad karena dianggap problem yang serius dalam agama, sehingga Abu Bakar al-Shiddiq berani mengambil kebijakan tersebut. Kemudian berhasil mengatasi kaum pembangkang zakat, kebijakan persoalan zakat tidak ada lagi negosiasi karena masuk dalam syariat Islam yang sudah di sempurnakan.
Keberhasilan dari pertempuran ini kemudian sebagian dari bangsa Arab kembali membayar zakat setelah kemenangan yang didapatkan di Zhu Qissa. Pada malam harinya dari setiap kabilah mulai berdatangan ke Madinah untuk membayar zakat.
Adapun perang Riddah ini memberikan dampak yang signifikan terhadap kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq, memperkuat posisi Abu Bakar sebagai pemimpin politik dan agama bagi umat Islam, serta menjadi fondasi bagi kelangsungan pemerintahan Islam di masa depan. Berikut adalah beberapa pengaruh utama Perang Riddah terhadap kepemimpinan Abu Bakar: Pertama, menjadikan legitimasi kepemimpinan yang kuat. Kedua, memimpin dengan teguh dan bijaksana. Ketiga, memulihkan kewajiban zakat dan hukum Islam. Keempat, meningkatkan kestabilan politik dan ekspansi Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H