Lihat ke Halaman Asli

Siti Fauziah

Mahasiswa

Analogi Kasar yang Masih Mengakar: Upaya Pelanggengan Rape Culture di Indonesia

Diperbarui: 26 Maret 2022   02:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Berkaitan dengan keadaan masyarakat di Indonesia, tidak sedikit orang-orang yang kurang akan kesadaran tentang rape culture. Bermula dengan budaya masyarakat, didikan yang didapat, hingga pemakaian bahasa, dan hal lainnya yang masih menjadi suatu upaya dalam pelanggengan rape culture dan sebuah penormalisasian terhadap tindakan atau pelaku pemerkosaan, pelecehan, dan kekerasan seksual. Istilah rape culture atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti budaya pemerkosaan, mulai dikenal oleh masyarakat pada tahun 1970-an yang bermula dari para perempuan feminis di Amerika. Menurut Olfman dan Sharna dalam buku The Sexualization of Childhood menyebutkan bahwa rape culture adalah sebuah teori sosiologis mengenai bagaimana tindakan pemerkosaan dan pelecehan seksual dinormalisasikan karena sikap masyarakat mengenai gender dan seksualitas.

            Mengacu pada piramida rape culture oleh Virginia Sexual and Domestic Violence Action Allience, tindakan-tindakan seperti menilai pakaian korban, mewajarkan tindakan laki-laki, menyalahkan korban, serta slut shaming adalah salah satu bentuk dari rape culture yang termasuk ke dalam segi cultural. Budaya yang sudah tertanam di masyarakat umumnya sulit untuk diubah. Pada dasarnya, cara berpikir, cara mendidik, akan membuahkan sebuah kepercayaan atau ideologi dari suatu masyarakat tersebut. Bentuk-bentuk rape culture dalam hal cultural yang telah disebutkan, semuanya tergambarkan dalam bahasa yang dituturkan oleh masyarakat dengan kurangnya kesadaran akan rape culture, salah satunya ialah komentar para netizen saat menanggapi pernyataan dalam konteks pemerkosaan, pelecehan, atau kekerasan seksual.

            Penggunaan-penggunaan analogi yang tidak pantas terus menjadi salah satu pendorong langgengnya rape culture di Indonesia. Wacana-wacana yang dilontarkan oleh para netizen dalam mengomentari korban-korban pelecehan seksual dapat dilihat melalui perspektif analisis wacana kritis Sara Mills. Pada dasarnya, analisis wacana kritis Sara Mills berkaitan dengan ideologi gender dalam feminisme. Maka teori tersebut pantas untuk dipakai dengan tujuan mengupas bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks. Penggunaan persamaan antara dua hal yang berbeda atau analogi dalam konteks pelecehan seksual, banyak dipakai oleh laki-laki di media sosial, salah satunya di Twitter.

            Analisis wacana kritis menurut Sara Mills terdiri dari posisi subjek dan objek, dan posisi pembaca. Pada posisi subjek -- objek, penggunaan analogi yang terdapat dalam komentar netizen selalu mengacu dan menyudutkan kepada perempuan. Seperti contohnya ialah analogi yang dilontarkan oleh salah satu netizen, "Permen kalau sudah dibuka bungkusnya pasti akan banyak semut yang mengerumuni." Dalam hal ini, laki-laki diibaratkan sebagai semut, sedangkan perempuan diibaratkan sebagai permen. Perempuan yang digambarkan tidak menutupi auratnya, menjadi sebuah pembenaran dan pewajaran oleh para laki-laki untuk melakukan tindakan pelecehan seksual. Netizen justru menyalahkan perempuan dan pakaian yang dipakainya, serta menempatkan perempuan sebagai subjek dalam permasalahan tersebut. Faktanya, perempuan yang berpakaian tertutup justru menempati urutan tertinggi sebagai korban pelecehan seksual. Hasil survey nasional Koalisi Ruang Publik Aman menyatakan bahwa 17% korban berpakaian tertutup, sehingga tidak ada korelasinya antara pakaian korban dengan pelaku pelecehan seksual.

            Mengacu pada analogi lain yang mengatakan, "Ibarat kucing kalau dikasih ikan asin pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan." Komentar-komentar berupa analogi seperti itu memperlakukan perempuan sebagai objek dan termajinalisasikan. Perempuan digambarkan seolah hanya berupa "santapan" dan tidak memiliki pilihan lain, selain menjadi objek bagi para laki-laki. Akibatnya, perempuan cenderung mendapat pandangan sebagai pihak yang salah dan laki-laki dianggap sebagai sosok yang tidak sepenuhnya salah serta masih ada benarnya.

            Selain itu, Sara Mills memosisikan pembaca dengan mengacu kepada gender. Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu hal, termasuk saat membaca teks yang sama. Dalam konteks marital rape atau pemerkosaan dalam rumah tangga, tidak sedikit pembelaan para pelaku menggunakan analogi seperti, "Kaya kita beli es krim, tapi ga boleh dimakan karena takut habis." Wacana berupa analogi seperti itu dapat menggiring opini masyarakat untuk menyetujui tindakan marital rape. Netizen diarahkan untuk bersimpati kepada para suami yang sudah "membeli" dan menempatkan perempuan sebagai pihak yang salah, karena status mereka telah menjadi suami-istri. Komentar-komentar seperti itu dilontarkan oleh para laki-laki. Sehingga posisi laki-laki lebih kuat dan perempuan digambarkan lebih lemah dari laki-laki.

            Penggunaan analogi-analogi jahat seperti yang telah disebutkan di atas, sama sekali tidak patut untuk dilontarkan. Pelaku pelecehan tetaplah digambarkan sebagaimana pelaku yang bersalah. Jika laki-laki digambarkan sebagai kucing jantan, maka perempuan pun seharusnya dianalogikan sebagai kucing betina, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama. Kucing memakan ikan asin itu wajar karena makan adalah kebutuhan pokok. Sementara itu, laki-laki sebagai manusia mempunyai akal budi dan kendali akan dirinya sendiri untuk tidak melakukan tindakan kriminal yang merugikan orang lain. Maka tentu perilaku laki-laki tidak bisa disamakan dengan hewan yang tidak mempunyai akal pikiran. Sehingga analogi-analogi seperti itu tidak pantas digunakan sebagai pembenaran atas tindakan para pelaku pemerkosaan atau pelecehan. Sebab perempuan terus-menerus menjadi warga kelas dua, di bawah bayang-bayang patriarki, yang berujung mendapat perlakuan diskriminatif. Alih-alih mengajukan alasan dan pembelaan, masyarakat seharusnya mampu untuk memberikan empati dan simpati terlebih dahulu kepada para korban, karena sejatinya perempuan tidak bisa disamakan dengan ikan asin, es krim, atau permen. Perempuan sebagai manusia memiliki perasaan, terutama takut dan trauma yang didapatnya karena tindakan pelecehan seksual. Seperti yang dikatakan oleh Freda Adler bahwa pemerkosaan adalah satu-satunya kejahatan di mana korban justru menjadi tertuduh. Maka pemikiran-pemikiran dan penggunaan analogi seperti itu harus diberantaskan, serta kesadaran diri dan empati perlu untuk ditingkatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline