Permasalahan sampah menjadi hal yang dirasakan oleh hampir seluruh negara, namun banyak negara yang mampu mengatasi permasalahan sampah tersebut dengan baik, sebagai contoh yaitu Jepang dan Korea yang menetapkan peraturan mengenai pemisahan hari pembuangan sampah rumah tangga. Indonesia merupakan salah satu negara yang bergelut dengan permasalahan sampah. Meski Indonesia sudah mengupayakan pengembangan sistem pengelolaan sampahnya, namun masih banyak masyarakat yang tidak melakukan himbauan dari pemerintah mengenai pengelolaan sampah rumah tangga, contohnya pengelolaan sampah organik yang seharusnya masih bisa dijadikan pupuk kompos, namun kebanyakan masyarakat memilih untuk menyepelekan dan tetap membuang sampah organik sisa rumah tangganya ke tumpukan sampah anorganik. Sampah campuran organik dan anorganik yang dihasilkan oleh rumah tangga lalu terimobilisasi hingga ke TPA, menjadi tumpukan masif yang tak terkendali. Tumpukan sampah campuran yang terkumpul di TPA, apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan berbagai masalah, contohnya permasalahan sosial, permasalahan kesehatan hingga banyak pencemaran dan bencana lainnya. Meski keadaan TPA sudah penuh, namun sebenarnya tak semua sampah rumah tangga dapat dimobilisasikan ke TPA, banyak juga yang hanya ditumpuk di suatu tempat hingga akhirnya penuh dan dikurangi dengan cara dibakar, yang tentu menghasilkan polusi lain.
Setahun kebelakang, di masa ketika Presiden Joko Widodo masih menjabat, beliau telah meresmikan tiga TPA di tiga daerah sekaligus, yakni TPA Supit Urang di Kota Malang, TPA Banjardowo di Kabupaten Jombang, dan TPA Jabon atau Griyo Mulyo di Kabupaten Sidoarjo. TPA Griyo Mulyo yang berada di Desa Kupang, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo dianggap memiliki manajemen pengelolaan sampah yang modern hingga dijadikan rujukan pembelajaran pengelolaan sampah tingkat nasional. Namun beberapa bulan lalu malah mengeluhkan potensi TPA Griyo Mulyo yang terancam penuh, akibat sampah yang tiba tiap harinya bisa mencapai berat 1.200 ton.
Sampah yang tiba tiap hari di TPA Jabon bukanlah jumlah yang kecil, namun di sisi lain masih banyak sampah rumah tangga yang tidak diangkut ke TPA dan hanya ditumpuk di sebuah tanah kosong hingga menumpuk tinggi. Sebagai contoh yaitu "Tempat Pembuangan Akhir" Di Desa Jambangan di Sidoarjo bertempat di seberang lapangan Desa Jambangan di dekat perlintasan rel kereta api. Dari yang penulis amati, banyak warga yang membuang sampah rumah tangganya ke area tersebut yang memang merupakan lahan kosong, para pelaku pembuangan sampah tersebut tidak hanya penduduk Desa Jambangan namun juga beberapa penduduk desa sekitar. Meski tumpukkannya tidak terlalu masif namun tetap saja tampilan dan aromanya mengganggu pengguna jalan dekat lokasi tersebut. Apabila sampah yang terkumpul dirasa sudah banyak, terkadang ada warga yang berusaha menghilangkan sampah tersebut dengan cara dibakar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apabila pengelolaan sampah di hulu masih hancur, maka proses pengelolaan sampah di hilir bakal tetap tersendat meski sudah mengupayakan manajemen pengelolaan sampah yang modern.
Solusinya adalah dimulai dengan menggerakkan remaja karang taruna tingkat desa setempat untuk mengajukan program kerja pengadaan lomba baik antar RW ataupun antar RT mengenai kebersihan masing masing wilayah tiap bulannya, dengan mencantumkan beberapa kriteria kelengkapan penilaian yang mendukung proses pemilahan sampah rumah tangga, contohnya biopori sebagai penyerapan air dan juga sebagai wadah pengolahan sampah organik, pengadaan tempat sampah non organik, dan lain-lain. Beriringan dengan berjalannya program lomba kebersihan desa, pemerintah desa juga harus bisa mengkoordinir pengambilan sampah anorganik dari tiap-tiap rumah dengan cara memberikan fasilitas pengambilan sampah, baik berbayar maupun tidak, ataupun bisa menggerakkan remaja karang taruna. Setelah menjalankan program kerja tersebut dalam beberapa bulan, harus dilakukan evaluasi untuk mengetahui kebijakan lanjutan yang harus diberikan kepada warga setempat. Apabila sudah lancar dan konsisten dilakukan oleh sebuah desa, pemerintah desa pun dapat mengajukan hal serupa kepada pemerintah kecamatan, dan dapat dilakukan berjenjang naik ke tingkat pemerintahan selanjutnya.
Selain itu dapat diusahakan juga dengan menggalang komunitas Ibu PKK untuk mengadakan penyuluhan pilah sampah di tiap-tiap RT/RW, apabila memungkinkan bisa juga diberikan penyuluhan ilmu untuk memanfaatkan sampah anorganik menjadi barang daur ulang atau semacamnya. Di lain sisi, pemerintah desa juga harus bisa menyediakan tempat pengumpulan sampah bagi warganya, baik semacam mobil truk yang akan lewat perlahan dan warga diminta untuk melemparkan kantong sampah anorganiknya ke dalam bak truk tersebut, atau tempat sampah kecil di depan tiap-tiap rumah yang nantinya akan diambil oleh petugas sampah, atau menyediakan tempat sampah pusat desa untuk masyarakat mengkolektifkan sampah anorganiknya ke tempat tersebut yang nantinya diambil dan diantar ke TPA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H