Pada 03 Maret 2023, Kelompok 13 Reak dari Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM 4) Universitas Pendidikan Indonesia melaksanakan kegiatan kebhinekaan yang kedua. Adapun lokasi kegiatan ini adalah Kampung Adat Cirendeu yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Jawa Barat. Seiring dengan upaya pelestarian budaya, Kampung Adat Cirendeu juga menjadi daya tarik wisata bagi orang-orang yang tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang kehidupan tradisional masyarakat Sunda. Adapun kegiata yang dilakukan oleh kelompok 13 Reak ketika mengunjungi Kampuing Adat Cirendeu adalah mengamati kerajinan dan seni tradisional, serta mempelajari tentang cara hidup lokal terutama dalam hal ketahanan pangan, serta bincang bersama pemangku adat desa Cirendeu.
Angklung Buncis
Angklung Buncis adalah salah satu kesenian tradisional yang berasal dari kampung Cirendeu. Kesenian ini menggunakan alat musik angklung yang terbuat dari bambu dan dimainkan bersama-sama. Angklung Buncis dikembangkan oleh masyarakat adat Paseban. Lagu yang dimainkan dengan angklung buncis biasanya bertema tentang kehidupan sehari-hari dan adat istiadat sunda. Adapun alasan dari penamaan angklung ini dikarenakan lagu yang dimainkan adalah lagu buncis, juga karena kata "buncis" memiliki arti tersendiri, yaitu "Budaya Urang Nurutkeun Ciri Sunda."
Angklung Buncis terbuat dari bambu hitam yang berumur 3-4 tahun. Bagian bawah sampai tengah bambu digunakan sebagai rangka dan bagian tengah sampai atas bambu digunakan sebagai bahan utama membuat angklung. Berbeda dengan angklung modern yang memiliki tangga nada diatonis, angklung tradisi seperti angklung buncis hanya memiliki tangga nada pentatonis. Angklung buncis biasanya dimainkan pada acara-acara adat di Kampung Cirendeu, seperti Upacara Seren Taun Upacara Kawin Cai, dan Upacara Ngabungbang. Pada kesempatan ini kelompok 13 Reak berkesempatan untuk mencoba memainkan angklung buncis dengan arahan dari Kang Rey.
Nasi Singkong Kampung Cirendeu
Nasi Singkong merupakan makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Kampung Adat Cirendeu, Makanan ini terbuat dar singkong yang diolah menjadi tepung dan dimasak seperti nasi. Tradisi menkonsumsi nasi singkong di Cirendeu telah berlangsung sejak tahun 1918, dilatarbelakangi oleh masa kolonial Belanda. Pada masa itu masyarakat Indonesia mengalami kesulitan di sektor panagan disebabkan monopoli yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap hasil panen masyarakat Indonesia. Pada tahun 1918 Masehi Mama Ali mempelopori peralihan makanan pokok dari beras ke makanan lainnya sebagai bentuk upaya perlawanan terhadap monopoli yang dilakukan kolonial Belanda. Proses peralihan ini berlangsung cukup lama untuk menentukan makanan pokok yang cocok. Berbagai bahan makanan seperti hanjeli, jagung, bunut, talas, dan sebagainya dicoba sampai akhirnya menemukan singkong sebagai makanan yang paling cocok.
Sedangkan untuk cara pengolahannya dipelopori oleh menantu Mama Ali, yakni Ibu Omah Asnama. Terdapat tujuh langkah pengolahan nasi singkong, yaitu: Pengupasan, Pencucian, Pemarutan, Pemerasan, Penjemuran, Penumbukan, dan Pengayakan. Akan tetapi, pada proses peralihannya banyak anak kecil yang tidak kuat karena belum terbiasa memakan singkong sebagai makanan pokok. Oleh karena itu, diadakan ritual tari Ngayun ketika ada anak-anak kecil yang tidak kuat makan singkong. Ritual Tari Ngayun adalah untuk membuat anak-anak yang memakan singkong, seolah-olah merasa seperti memakan nasi beras sehingga tidak merengek lagi karena tidak kuat. Proses peralihan ini berlangsung kurang lebih enam tahun sampai akhirnya pada tahun 1924 masyarakat Cirendeu mulai memakan singkong.
Bincang Adat
Kelompok 13 Reak juga berkesempatan melakukan wawancara dengan pemangku adat di Bale atau Balai Desa. Pada bincang adat ini, Kelompok 13 Reak jadi lebih mengetahui tentang Tradisi dan Budaya Kampung Cirendeu, Kearifan Lokal, Tata Ruang, dan sebagainya. Dalam hal tradisi dan udaya, masyarakat Cirendeu mengenakan pakaian tradisional Sunda seperti pangsi dan kebaya pada acara-acara adat. Bahasa Sunda juga masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Terkait tata ruang, kampung Cirendeu masih mengikuti pola tradisional Sunda. Rumah-rumah adat disususn rapi di sepanjang jalan utama kampung, dan di tengah kampung terdapat bale desa yang digunakan untuk berbagai kegiatan adat. Rumah adat di Kampung Cirendeu terbuat dari bilik bambu dan beratap alang-alang. Rumah adat ini memiliki bentuk panggung dengan saung di bagian depan.
Kampung Cirendeu juga memiliki beberapa upacara adat, di antaranya adalah Seren Taun yang merupakan upacara syukur atas oadi yang berlimpah, biasanya diadakan pada bulan Maulud, Kawin Cai yang merupakan ritual untuk memohon hujan di musim kemarau, dan Ngabungbang yang merupakan upacara membersihkan diri dari segala halangan dan rintangan yang biasanya diadakan pada bulan Sya'ban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H