Lihat ke Halaman Asli

Sitiana Azahra

XI MIPA 1 (29)

Cerpen: Cahaya Untuk Bumi

Diperbarui: 30 November 2020   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja saat itu angin mengalir lembut. Dedaunan bergoyang mengikuti aliran angin. Awan mulai mengeluarkan hujannya dan membasahi jalan, seakan semesta ikut bersedih dan menangis bersama bumi. 

~~~~~

Kursi-kursi kayu dengan beberapa meja yang tampaknya sudah mulai lenyap dimakan rayap terbengkalai di pojokan rooftop. Terdapat sofa usang tak jauh dari sana yang tampaknya sudah bertahun-tahun tak terpakai. Walau begitu, hanya sofa itulah yang kiranya masih layak pakai, meski sudah tak seempuk sedia kala

Sore itu langit tampak cerah bahkan mulai menampilkan lembayungnya. Angin sepoi-sepoi memanjakan wajah seorang pria yang sedang diam terkulai di sofa usang tersebut. Ia hanyut dalam pikirannya yang penuh sesak oleh hal-hal negatif yang selama ini selalu mengganggunya.

Tampak seorang gadis manis yang sedang duduk di tepian rooftop sembari memandang hiruk pikuk keramaian kota Jakarta. Tak hanya sang pria, ia pun juga sedang menyelami pikirannya yang hanyut entah kemana ia pun tak tahu. 

“Apa alasan kamu berpikir seperti itu?” Mentari berkomentar secara tiba tiba ditengah kesunyian sore itu. “Berpikir apa?” Tanya Bumi. “Ya itu, ingin menghilang dari dunia.”

“Kamu pasti tau alasannya Tar,” Mentari yang mendengar balasan Bumi tapi tidak menemukan jawabannya terlihat kesal dan ia pun menggerutu. “Mana bisa aku tau Bum kalau kamu gak jelasin, kamu pikir aku dukun?” Bumi terkekeh setelah mendengar gerutuan Mentari. 

5 menit sudah terlewatkan, namun tak terlihat ada tanda-tanda sang pria membalas gerutuan gadis tersebut, pun begitu dengan Mentari yang memilih untuk mengunci mulutnya. 

“Aku benci diriku. Kamu tau itu,” Ucap Bumi. 

Hening. Suasana yang semula damai serta diiringi dengan semilir angin, kini mulai terasa ketegangannya. 

“Aku benci sama diriku yang gak bisa nolak permintaan orang. Aku benci diriku yang terlalu takut untuk mengutarakan opini-opiniku hanya karena takut apa yang aku ucapkan tidak akan diterima oleh orang lain," Pria tersebut masih terkulai di sofa usang tersebut, namun terlihat tubuhnya bergerak-gerak gelisah. Napasnya terlihat memburu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline